Dilihat dari denominasinya, SBN rupiah sebesar Rp4.353,56 triliun, atau 78%. Sedangkan SBN valas sebesar Rp1.227,81 triliun atau 22%. SBN valas saat ini berdenominasi dolar Amerika, Euro, dan Yen Jepang. Nilai tadi merupakan konversi berdasar kurs tengah Bank Indonesia akhir Mei 2021.
Dilihat dari kepemilikannya, SBN yang dimiliki asing sebesar Rp2.084,12 triliun atau 37,34%. Berupa SBN rupiah atau SBN domestik sebesar Rp957,46 triliun, dan SBN valas sebesar Rp1.126,66 triliun.
SBN yang dimiliki penduduk mencapai Rp3.497,25 triliun atau 62,66%. Termasuk penduduk adalah Bank Indonesia. Sebagai contoh, kepemilikan Bank Indonesia mencapai 23,28% atas SBN rupiah yang dapat diperdagangkan.
Terkait erat dengan profil itu, sebagian utang pemerintah dicatat oleh Bank Indonesia sebagai utang luar negeri (ULN). ULN Pemerintah adalah semua utang kepada pihak asing atau bukan penduduk. Baik dalam bentuk pinjaman maupun dalam bentuk SBN yang dipegang atau dimiliki oleh asing. Tidak dipersoalkan tentang mata uang dari SBN.
Sekalipun SBN berdenominasi valas, jika dimiliki oleh penduduk, maka tidak dicatat sebagai ULN. Di sisi lain, SBN berdenominasi rupiah yang dimiliki oleh asing, dicatat sebagai ULN.
Hal ini penting diketahui, karena ada utang pihak swasta dalam posisi ULN. Ada pula sedikit utang Bank Indonesia yang dipakai untuk keperluan kebijakan moneter. Dengan kata lain, posisi utang pemerintah tidak sama dengan posisi utang luar negeri. Hanya berhubungan, karena ada utang pemerintah yang merupakan ULN.
Dari uraian di atas, porsi utang pemerintah yang berdenominasi valuta asing masih sebesar 31,99%. Perubahan kurs rupiah atas berbagai mata uang asing, terutama dolar Amerika, akan berdampak pada posisi utang jika dinyatakan dalam nilai rupiah. Jika melemah, maka akan menambah posisi utang.
Dilihat dari waktu pelunasan, sebagian besar utang pemerintah memang memiliki jangka waktu panjang ketika terjadi transaksi. Bahkan telah ada seri SBN Valas yang jatuh temponya 50 tahun setelah diterbitkan. Akan tetapi, pinjaman dan SBN bersifat akumulasi dan transaksinya berlangsung secara terus menerus. Ada utang yang ketika terjadi bersifat jangka panjang, namun telah mendekati waktu pelunasannya.
Profil utang pemeritah dalam hal waktu jatuh tempo ini sering dinyatakan dalam besaran rata-rata (Average Time to Maturity) ketika posisi utang dinyatakan. Pada akhir Mei 2021, average time to Maturity sebesar 8,70 tahun.
Untuk mengetahui besarnya nilai pelunasan dan cicilan utang pokok tiap tahun perlu data yang lebih spesifik dari rincian pinjaman dan SBN. Namun informasi rata-rata tadi bisa dipakai untuk estimasi kisaran besarannya. Pemerintah kadang melakukan upaya “mengatur” waktu jatuh tempo dengan pertimbangan “meratakan” beban pelunasan. Antara lain dengan “buyback” SBN, dilunasi sebelum waktunya. Biasanya bersamaan dengan menerbitkan SBN yang bermaturitas lebih lama.