Kedua hal itulah yang menyebabkan penempatan dana masyarakat di perbankan saat ini cukup tinggi.
Ihwal pertumbuhan kredit yang hanya satu persen, Aviliani menyatakan terdapat hal-hal yang perlu dipertimbangkan pada 2021 mendatang, salah satunya adalah dana PEN sebesar Rp200 triliun untuk dana sosial, pada tahun depan diperkirakan akan mengalami penurunan yakni hanya sebesar Rp100 triliun.
Perbankan nasional pada 2021 belum akan tumbuh secara normal seperti pada 2019. Hal itu disebabkan oleh Pertama, harus melihat apakah 50 persen masyarakat Indonesia sudah diberikan vaksin.
Kedua, andaipun telah diberi vaksin, biasanya membutuhkan timelag sebelum kembali normal. Belum lagi korporasi juga akan melakukan adjustment, demand juga melakukan adjustment. Hal-hal itu paling tidak membutuhkan waktu sekitar enam bulanan. Jadi, dari sisi pertumbuhan ekonomi pada tahun depan mungkin antara 3-4 persen. Hal itu semua menunjukkan bahwa perbankan tidak bisa memaksakan pertumbuhan kredit.
“Jika bisa tumbuh tiga persen saja sudah sangat bagus. Jelas, bahwa tahun depan tantangan perbankan juga masih berat. Sementara restrukturisasi juga akan diperpanjang. Perbankan diperkirakan tidak akan mendapatkan keuntungan kredit sekitar 10-20 persen dari total kredit,” urai Aviliani.
Artinya, perbankan belum bisa recovery dan pertumbuhan kredit juga masih terbatas. Keuntungan bank akan semakin terkena dampak.
Biaya operasional perbankan juga masih cukup tinggi. Karena walaupun dilakukan restrukturisasi, tetapi restrukturisasi itu tidak boleh dibungakan. Jadi pendapatan selama setahun—atau bisa jadi dua tahun—bank tidak bisa mengharapkan untuk memperoleh pendapatan dari bunga maupun dari pokok.
Selain itu perilaku masyarakat telah berubah secara cepat. Semula diperkirakan digitalisasi sektor perbankan baru akan marak pada 10 tahun lagi. Tapi ternyata ketika terjadi pandemi, terjadi percepatan pada masyarakat yang berusia lima puluh tahun ke atas dari semula tidak pernah menggunakan phone banking, saat ini dipaksa menggunakan phone banking.
Dengan demikian muncul kebutuhan investasi di sektor digital. Sedangkan kondisi perbankan saat ini, dari total jumlah perbankan nasional yang punya kemampuan berinvestasi di sektor digital tidaklah banyak.
“Sepertinya perlu dipikirkan regulasi ketika bank-bank yang tidak punya kemampuan investasi digital, diberikan alternatif untuk bergabung dalam suatu Kelompok Usaha Bank (KUB) dan terdapat bank yang menjadi induknya,” usul Aviliani.
Hal itu perlu dilakukan pemerintah dengan menerbitkan regulasi agar dunia perbankan nasional tidak tumbang ke depan. Karena bagaimanapun, untuk investasi digital membutuhkan dana sangat besar.