Scroll untuk baca artikel
Ekonomi

Prospek Perbankan ke Depan Masih Berat

Redaksi
×

Prospek Perbankan ke Depan Masih Berat

Sebarkan artikel ini

Barisan.co – “Jika sektor riil tidak berjalan baik, maka sektor perbankan juga tidak akan bisa berjalan dengan semestinya. Pada 2020, sebagian dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) justru dikontribusikan ke sektor perbankan. Meski dalam kenyataannya saat ini pertumbuhan kredit hanya sekitar 1%,” kata Dr Aviliani, ekonom senior dalam paparannya pada webinar INDEF: “Proyeksi Ekonomi Indonesia 2021: Jalan Terjal Pemulihan Ekonomi” pada Rabu (18/11/2020).

“Hal itu karena pemerintah kerap melihat bahwa sektor perbankan sebagai sektor yang menjadi motor penggerak sektor keuangan, meski sebenarnya sektor perbankan itu follow the threat, and follow the business,” lanjut Aviliani.

Saat ini sekitar 75 persen perbankan nasional hidup dari sektor kredit. Jika kredit tidak tumbuh maka keuntungan perbankan pasti berkurang. Bahkan mungkin NIM perbankan bisa turun drastis.

Realitasnya, terdapat sektor riil yang sudah tumbuh, tetapi ada pula yang belum tumbuh 100 persen. Sementara sektor yang tumbuh berkembang sekarang justru sektor padat modal seperti ICT atau teknologi.

“Sektor padat modal seperti itu justru tidak terlalu banyak berpengaruh pada sektor kredit perbankan. Ekspansinya memang luar biasa tetapi padat modal. Artinya, sektor yang luar biasa berkembang belum tentu langsung membutuhkan modal perbankan,” tambahnya.

Sektor lain yang juga tumbuh adalah pertanian dan air bersih. Tetapi, kebutuhan kreditnya cenderung hanya 50 persen. Jika hanya 50 persen maka untuk berekspansi lagi menjadi agak sulit. Jika ekspansipun kemungkinan tidak punya kemampuan membayar.

“Dengan kondisi tersebut, maka pemerintah perlu mengkaji agar menghindari kebijakan yang justru membebani pengusaha yang akhirnya menjadi kredit macet. Padahal memang sektor itu belum membutuhkan kredit perbankan,” jelas Aviliani.

Dari sisi fungsi perbankan, memang tengah mendapat tantangan cukup berat karena pandemi belum mereda. Oleh karena itu Aviliani mengusulkan untuk mencermati beberapa hal.

Pertama, pada setiap krisis pasti terdapat masalah likuiditas, namun kali ini yang terjadi justru perbankan tengah kelebihan likuiditas karena mendapat penempatan dana besar dari masyarakat,” imbuhnya.

“Penempatan dana itu terjadi karena dua hal, yakni Pertama, dari sebagian masyarakat kelas atas yang belum berani berbelanja atau keluar rumah, dan cenderung mengurangi konsumsi,” sambungnya lagi.

“Kedua, terdapat korporasi yang menempatkan dana sebagai persiapan apabila kondisi tidak menentu masih berlangsung lama, memilih untuk menambah kesiapan modal kerja dari modal sendiri. Hal itu karena mereka belum berani melakukan pinjaman bank,” kata Aviliani.