Puisi puasa puisi terus berlahiran, antara lain puisi yang mengingatkan bahwa idul fitri bukan pesta tapi justru kesadaran bersuci diri bahwa manusia akan kembali juga ke Sang Maha Kuasa.
PENYAIR yang dalam dekade 1970-an pernah menyebut diri ‘Presiden Penyair Indonesia’ Sutardji Calcoum Bachri pernah menulis puisi dalam bentuk zigzag yang kalau ditulis dalam larik selazimnya berbunyi: tuhantuhantu… Dalam eseinya yang berjudul “Repot” Emha Ainun Nadjib menilik puisi itu sebagai reinkarnasi dari puisi Brazil karya anonim yang berbunyi: mortemortemor…
Begitu ‘puasakah’ puisi dengan gaya ungkap paling puasa bahasa? Yang jelas dalam kredonya Sutardji pernah meneriakkan konsepsi: membebaskan kata dari makna. Dalam pada itu Umar Kayam pernah mengungkapkan dalam satu risalahnya, bahwa sastra bergedung bahasa tapi puisi berumah kata.
Bahasa sebagai media-keindahan sastra, sering disalah-artikan sebagai kumpulan kata yang diindah-indahkan. Padahal sebagaimana hakikat keindahan ibarat rumah, rumah kecil atau berujud gedung tetap bernama rumah.
Paulo Freire bahkan membuat teori keindahan dengan kalimat: small is beautifull (kecil itu indah). Atau Jean Paul Sartre yang menteorikan justifikasi tentang keindahan: beuty is truth, trut is beauty (keindahan adalah kebenaran, kebenaran adalah keindahan).
Celakanya dewasa ini, banyak karya-karya sastra yang kata-katanya tidak hanya diindah-indahkan tapi juga dimewah-mewahkan. Tidak aneh, karena di mata mereka keindahan adalah kemewahan. Bagaimana dalam konsep pembangunan sejak orde baru hingga reformasi, makna keindahan telah diubah menjadi arti kemewahan.
Dalam dunia puisi yang berumah dalam kata, Chairil Anwar pernah dikisahkan ‘Paus Sastra Indonesia’ HB Jassin, sebagai penyair yang selektif dalam memilih kata. Satu kata untuk penulisan puisinya bisa ditemukan selama berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Meski setelah ditemukan, kata tersebut ternyata hanya satu kata sederhana.
Tak aneh penyair Angkatan 45 yang dikenal dengan sebutan ‘binatang jalang’ ini, di jamannya, telah menjadikan persoalan bahasa dalam bahasa Indonesia telah selesai. Tidak salah ‘sang paus’ menasbihkannya sebagai pelopor penyair Angkatan 45. Puisinya yang berjudul “Aku” merupakan tanda kebesaran kepenyairannya dalam ranah eksitensialisme, satu aliran ke-aku-an sebagai pendobrakan aliran klasikisme. Perhatikan larik puisi dalam “Aku” itu: aku ini binatang jalang/dalam kumpulannya yang terbuang…
* * *
BETAPA terdobraknya keindahan klasik pada saat itu, seperti yang dirasakan Angkatan Pujangga Baru atau Balai Pustaka. Atau yang dalam jagad senirupa disebut ‘indie moi’, kecantikan Indonesia dalam ‘rayuan pulau kelapa’. Misalnya kecantikan wanita yang dilukiskan dalam puisi dengan larik antaralain: dagunya bak kumbang bergantung, betisnya bagai bulir padi… (dst).