Scroll untuk baca artikel
Blog

Quo Vadis Etika dalam Kepemerintahan

Redaksi
×

Quo Vadis Etika dalam Kepemerintahan

Sebarkan artikel ini

ETIKA merupakan landasan manusia berbuat. Etika memandu kita menentukan mana yang baik dan tidak baik, menjadi guidance bagi manusia untuk menentukan perilaku yang menciptakan keseimbangan bagi khalayak-banyak.

Etika juga menjadi landasan pembentukan hukum positif beserta turunannya. Termasuk dalam pemerintahan, etika musti menjadi landasan dalam menentukan norma-norma praktik pemerintahan dan tata kelolanya.

Saya sebagai mahasiswa program doktoral IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri) merasa berkepentingan menceritakan kembali sebuah acara penting yang diadakan Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) pada pertengahan tahun 2021 kemarin.

Pada acara tersebut, para pelaku dan akademisi di bidang pemerintahan untuk mendiskusikan kembali etika dalam pengelolaan pemerintahan. Hadir sebagai keynote speaker guru besar IPDN yang juga mantan Menteri PAN/RB (Pemberdayaan Aparatur Negara / Reformasi Birokrasi) Prof. Ryaas Rasyid.

“Sudah lama kita tidak menyenggarakan diskusi publik tentang etika pemerintahan” kata profesor.

Pernyataan itu seperti tamparan buat pelaku dan akademisi ilmu pemerintahan, karena memang kenyataannya diskursus akademik tentang etika penyelenggaraan negara sangat minim. 

Kalaupun ada, diskursus lebih didominasi pelaku politik yang menjadikan perbincangan soal etika pemerintahan lebih sebagai ranah marketing politik di media, dibanding sebagai substansi akademik.

Dalam paparannya, Prof. Ryaas menjabarkan tugas pokok pemerintahan: pelayanan kebutuhan dasar masyarakat, pemberdayaan untuk meningkatkan kemandirian dan potensi masyarakat, dan pembangunan bagi kesejahteraan rakyat.

Profesor secara tajam mengkritik pemerintah dengan mengatakan: “Sudah lama Indonesia dikelola tanpa etika.”

Perjalanan pemerintahan di negeri ini dianggap telah melenceng jauh dari etika dasar yang tertuang dalam pembukaan UUD sebagaimana disebutkan di atas.

Sebagai salah satu contoh adalah dalam hal mencerdaskan kehidupan bangsa, pendidikan sering kali lebih banyak dilihat sebagai komponen penyuplai sumber daya manusia dalam industri daripada sebagai sebuah proses untuk mencerdaskan dan meninggikan harkat dan martabat kemanusiaan.

Dalam konteks pelaku pemerintahan, mencerdasakan bukan sekadar membuat sekolah, tetapi tercermin dari perilaku pemimpin yang mencerminkan mencerdaskan, menjadi teladan, bukan malah menjadi beban bagi masyarakat, apalagi dengan membuat sesuatu yang kontroversi di masyarakat.

Pemilu dan Penyelenggaraan Pemerintahan

Prof. Siti Zuhro, ilmuwan politik dari LIPI yang juga hadir dalam acara tersebut, memaparkan materi dengan judul Pemilu dan Penyelenggaraan Pemerintahan Beretika.

Menurutnya, Indonesia rentang 1998-2021 adalah Indonesia yang sedang membangun dan memperjuangkan sistem politik demokratis. 

Akan tetapi pemilu-pemilu demokratis belum tentu bisa mewujudkan pemerintahan yang efektif jika koordinasi antarlembaga pun tidak berjalan dengan baik.

Lalu, apa yang salah dengan format pemilu? Adakah penyebabnya sehingga pemilu-pemilu ini tidak menghasilkan pemerintahan yang sinergis dan efektif?

Semua ini terjadi karena belum adanya kesepakatan formula demokrasi yang akan dijunjung sejak kemerdekaan sekalipun.

Ada beberapa penyebab Orde Reformasi belum dapat menyempurnakan formula tersebut: 1. Model transisi demokrasi yang tidak menjanjikan melembaganya demokrasi substansial yang terkonsolidasi, 2. Amandemen konstitusi yang cenderung tambal sulam, 3. Sistem multipartai ekstrem tidak mendukung skema sistem demokrasi presidensial.

Prof. Siti Zuhro memberikan tiga rekomendasi berupa: penataan sistem pemerintahan, penataan sistem pemilu dan kepartaian, dan penataan politik hukum.