Ia lantas tersenyum lebar. “Darto dan teman-teman Papi jadi ke sini hari ini, kan?”
Aku pun mengangguk dan mulai memahami maksudnya.
“Nah, kan lebih baik kalau aku masak banyak-banyak, biar mereka juga bisa mencicipi bubur jagung buatanku,” terangnya, dengan raut antusias. “Aku yakin, mereka pasti suka. Masakanku kan enak. Iya, kan?”
Karena kelimpungan meramu jawaban, aku mengangguk saja, dengan perasaan khawatir membayang-bayangkan situasi bersantap nantinya.
Tetapi aku tak mau mempermasalahkan atau menentang niatnya. Diam-diam, aku ingin menjadikan lidah teman-teman sekantorku sebagai alat penguji untuk mengetahui apakah lidahku yang tidak peka terhadap rasa enak, ataukah istriku yang memang tidak pandai dalam meramu masakan yang lezat.
Semalam, aku memang telah menceritakan kepadanya bahwa empat orang sekantorku di perusahan penjualan otomotif, akan bertandang ke rumah kami hari ini, sebelum tengah hari. Mereka adalah bawahanku, yang kuminta untuk datang dan menyerahkan laporan mereka secara mendadak perihal progres penjualan. Pasalnya, atasanku di kantor, juga tiba-tiba mendesak agar aku menyampaikan laporan kepadanya esok hari.
Salah satu di antara teman sekantorku yang akan datang adalah Darto. Ia adalah teman baik istriku di bangku SMA. Hal itu kuketahui berdasarkan pengakuan istriku sendiri, setelah aku menuturkan tentang sosok Darto. Karena itulah, istriku tampak begitu bersemangat menyambut kedatangan Darto dan tiga orang lainnya, seolah-olah ia akan menyambut tamu istimewa yang mesti dijamu dengan baik.
Tetapi diam-diam, aku sedikit waswas atas kedatangan Darto di rumahku. Pasalnya, dari seorang sepupuku yang merupakan teman sekolah Darto dan istriku dahulu, aku pun tahu bahwa Darto dan istriku merupakan dua orang yang bersahabat erat. Keduanya bahkan tampak lebih dekat ketimbang dengan teman-teman mereka yang lain. Keduanya memang tak pernah resmi sebagai sepasang kekasih, tetapi kenyataan itu tetap membuatku bertanya-tanya perihal perasaan di antara mereka. Karena itulah, kedatangan Darto untuk pertama kalinya ke rumah baruku, akan kujadikan sebagai kesempatan untuk memeriksa kalau-kalau mereka benar-benar punya perasaan yang terselubung.
Hingga akhirnya, 20 menit sebelum jam 11, Darto dan tiga orang teman sekantorku datang saat bubur jagung masakan istriku belum masak. Sebagai hidangan pengantar, istriku pun menyajikan minuman instan dan biskuit untuk mereka. Dengan hidangan sederhana itu, aku dan mereka kemudian mengobrolkan perihal laporan kerja mereka. Setelah hampir satu jam, aku pun merasa tidak menemukan permasalahan yang akan membuat atasanku kecewa.