Sesaat berselang, setelah urusan kantor di luar jam kerja tersebut selesai, istriku pun mengajak Darto dan tiga orang lainnya untuk beranjak ke ruang makan. Dengan sikap yang sedikit segan, mereka pun turut dan lekas duduk di kursi.
Sepanjang sesi perjamuan itu, aku pun mengamat-amati sikap Darto dan istriku. Aku berusaha membaca tanda-tanda kalau-kalau mereka memang pernah atau bahkan masih memiliki perasaan yang spesial satu sama lain. Tetapi meski begitu, aku tak ingin gegabah membenarkan tuduhanku sebelum mereka menunjukkan gelagat mencurigakan yang benar-benar terang.
“Bagaimana? Masakan bubur jagungku enak, kan?” tanya istriku dengan penuh percaya diri, sembari melayangkan pandangan pada Darto dan tiga orang lainnya.
Keempat orang itu pun mengangguk-angguk.
“Enak sekali,” kata Darto kemudian. “Ini adalah bubur jagung terenak yang pernah kumakan,” pujinya, dengan ekspresi meyakinkan.
Sontak saja, istriku tampak senang. “Terima kasih.”
Aku pun mulai curiga.
“Kenapa tidak makan, Pak? Apa Bapak sudah bosan menyantap makanan seenak ini setiap hari?” tanya Darto kepadaku, dengan sikap bercanda, sambil terus bersantap.
Aku lantas melayangkan senyuman simpul demi mengesankan keramahanku sebagai tuan rumah. “Aku masih kenyang. Nanti saja. Kalian makanlah,” kilahku, dengan maksud yang sebenarnya untuk mengindari hidangan istriku yang selalu gagal memuaskan lidahku.
“Seandainya istriku bisa memasak hidangan seenak ini, aku tidak akan pernah jajan di luar,” puji Darto lagi, sembari menoleh sekilas kepada istriku.
Lagi-lagi, istriku tampak senang.
Terang saja, melihat pujian Darto atas masakan istriku yang terdengar berlebihan, juga melihat respons istriku yang tampak tersanjung, aku pun jadi makin mencurigai mereka. Aku pun mulai menduga bahwa Darto memang bermaksud menyenangkan perasaan istriku sebagai pujaan hatinya, dan istriku sungguh-sungguh merasa senang sebagai seorang pujaan.
Akhirnya, atas tudinganku yang telah menguat, aku pun memendam rencana di waktu kemudian. Aku akan menanyai ketiga teman sekantorku yang lain perihal nilai rasa dari masakan istriku. Jawaban ketiganya akan kujadikan sebagai dasar untuk memvonis kecurigaanku atas pujian Darto terhadap masakan tersebut.
Beberapa lama kemudian, Darto dan ketiga teman kantorku akhirnya pulang.
“Ah, aku benar-benar senang. Darto dan teman-teman Papi yang lain, tampak puas menyantap masakanku,” tutur istriku, dengan wajah berseri-seri.
Aku hanya tertawa mendengkus mendengar tanggapan polosnya atas pujian-pujian yang kutaksir sebagai kebohongan itu.