Bukan hanya di dunia maya orang terbelah. Di dunia nyata, menurut Merlina, juga banyak orang yang tidak bicara satu sama lain semenjak pilpres.
“Akar masalah dari fenomena tersebut sebetulnya terletak di luar media sosial. Cara kampanye, sistem politik, figur publik, serta kecenderungan hitam putih dalam melihat isu menjadi hal-hal yang turut berpengaruh,” katanya.
Namun sejurus kemudian, munculnya Covid-19 menandai babak baru keterbelahan tersebut. Pandemi menjadikan publik kita memiliki share experience yang sama, dan itu melebur pandangan politik yang sebelumnya saling berlawanan.
“Sayangnya harus melalui tragedi dahulu untuk pada akhirnya kita melupakan bahwa kita berbeda,” kata Merlina.
Ada nilai kemanusiaan yang justru terangkat lewat pandemi. Merlina mengaku, tidak pernah dalam 20 tahun ia tinggal di Ottawa merasakan betapa ada keterhubungan yang demikian erat bahkan dengan orang-orang yang tidak ia kenal selama Covid-19 merebak.
“Saya melihat banyak sekali upaya yang dilakukan masyarakat Indonesia yang terhubung dengan masyarakat diaspora untuk menciptakan masyarakat yang resilien terhadap pandemi. Walaupun kita terisolasi, kita menjadi lebih dekat secara emosi dan kebangsaan,” kata Merlina.
Merlina berharap keterikatan yang muncul ini bukan hanya semacam tren yang dilupakan setelah pandemi usai. Apalagi keterikatan semacam ini adalah hal-hal yang sebenarnya sudah dimiliki oleh bangsa Indonesia sejak lama, yang biasa disebut gotong royong.
“Semoga pandemi ini bisa jadi pelajaran untuk menyadari bahwa jati diri kita sebagai orang Indonesia hanya bermakna ketika kita melakukan sesuatu untuk orang lain,” pungkas Merlina Lym. [dmr]