Scroll untuk baca artikel
Terkini

Refleksi Diaspora tentang Persatuan dan Demokrasi Indonesia

Redaksi
×

Refleksi Diaspora tentang Persatuan dan Demokrasi Indonesia

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Warga negara Indonesia yang tinggal di luar negeri, yang dikenal sebagai diaspora, juga merasakan hal yang sama sebagaimana terjadi di dalam negeri. Adanya konflik dan pembelahan pascapilpres 2019, misalnya, juga terjadi pada warga diaspora bahkan hingga sekarang.

Hal tersebut disampaikan oleh Abdul Nur Adnan, jurnalis senior Voice of America (VOA) yang tinggal di Washington DC. “Ini memprihatinkan, karena kemudian timbul perbedaan pandangan sedemikian rupa sehingga membuat yang semula kawan menjadi lawan,” katanya dalam webinar yang diselenggarakan oleh forum Musyawarah Indonesia, Kamis (26/8/2021) kemarin.

Menurut Nur Adnan, masih belum matangnya pemahaman tentang demokrasi merupakan tantangan terbesar bagi warga Indonesia baik di luar maupun di dalam negeri. Di dalam negeri, hal itu ditambah dengan kenyataan bahwa tidak semua masyarakat mengenyam tingkat pendidikan minimal. Padahal, salah satu syarat dapat diberlakukannya demokrasi adalah adanya kesetaraan tingkat pendidikan.

Ini berakibat pada ketidaktahuan publik tentang pelaksanaan demokrasi utamanya pemilu. “Sebenarnya banyak masyarakat yang tidak tahu menahu tentang pemilu. Mereka gampang sekali menjadi korban politik uang. Suara mereka gampang dibeli, sehingga demokrasi kita tergantung kepada siapa yang mempunyai banyak uang,” kata Nur Adnan.

Meski terus dihadapkan pada politik pembelahan dan politik uang, Nur Adnan berharap agar ke depannya Indonesia bisa betul-betul memiliki iklim demokrasi yang baik. Hanya dengan begitulah akan muncul kesempatan untuk mengalami bagaimana perbedaan pendapat dan konflik dapat diselesaikan melalui adu gagasan yang tidak saling meniadakan satu dengan lainnya.

Upaya untuk mematangkan demokrasi juga terus dilakukan oleh warga diaspora di Amerika. Biasanya, menurut Nur Adnan, tanggal 17 Agustus sering digunakan sebagai momentum.

“Di Washington ada sekitar 2-3 ribu WNI. Kalau pemilu terasa sekali terbelahnya. Tapi ada juga usaha-usaha untuk menyatukan misalnya pada 17 Agustus kemarin diadakan kumpul-kumpul dan pertandingan-pertandingan. Sedikit demi sedikit muncul kesadaran bahwa para diaspora ini adalah bagian dari masyarakat Indonesia, punya sejarah yang sama dan kepentingan yang sama,” kata Nur Adnan.

Pandemi yang Mempersatukan

Pembelahan politik yang terjadi pada warga negara Indonesia juga dibenarkan oleh Prof. Merlina Lym, akademisi Carleton University, Ottawa, Kanada, yang juga menjadi narasumber dalam webinar.

Pembelahan itu diperparah oleh adanya oposisi biner yang merupakan legacy pilpres tahun 2014 silam. “Adanya disinformasi, hoaks, dan berita-berita simpang siur memperparah binary secara politik itu. Dalam penelitian saya, bahkan banyak orang saling unfriend media sosial,” kata Merlina Lym.

Bukan hanya di dunia maya orang terbelah. Di dunia nyata, menurut Merlina, juga banyak orang yang tidak bicara satu sama lain semenjak pilpres.

“Akar masalah dari fenomena tersebut sebetulnya terletak di luar media sosial. Cara kampanye, sistem politik, figur publik, serta kecenderungan hitam putih dalam melihat isu menjadi hal-hal yang turut berpengaruh,” katanya.

Namun sejurus kemudian, munculnya Covid-19 menandai babak baru keterbelahan tersebut. Pandemi menjadikan publik kita memiliki share experience yang sama, dan itu melebur pandangan politik yang sebelumnya saling berlawanan.

“Sayangnya harus melalui tragedi dahulu untuk pada akhirnya kita melupakan bahwa kita berbeda,” kata Merlina.

Ada nilai kemanusiaan yang justru terangkat lewat pandemi. Merlina mengaku, tidak pernah dalam 20 tahun ia tinggal di Ottawa merasakan betapa ada keterhubungan yang demikian erat bahkan dengan orang-orang yang tidak ia kenal selama Covid-19 merebak.