Scroll untuk baca artikel
Blog

Remy Sylado, Anies Baswedan dan Novel yang Belum Tuntas

Redaksi
×

Remy Sylado, Anies Baswedan dan Novel yang Belum Tuntas

Sebarkan artikel ini

MEMBACA novel karya Remy Sylado benar-benar layaknya berwisata dan belajar sejarah yang sangat menarik. Sejarah dikemas cukup mendalam, penuh greget dan eksotis, seperti dalam novel Kembang Jepun (2003).

Kendati novel ini bercerita tentang sosok geisha Indonesia, namun setting-nya tetap mengambil sejarah bangsa yang sarat konflik, etnik, perjuangan, dan sisi humanisme seperti cinta, cemburu, dan kasih sayang.

Sejarah inilah yang menurut Remy adalah ‘sisi lain’ yang menjadi lahan garapan sekaligus yang menjadi daya jual karyanya. Remy memang piawai dalam mempresentasikan referensi historis yang dimilikinya.

Sedikitnya, untuk sebuah novel Remy membutuhkan 30 referensi tua alias kuno yang diperolehnya dari pelosok Tanah Air dan dunia. Uniknya, sejumlah novel karya Remy, sebelum diterbitkan dalam sebuah buku terlebih dahulu dimuat di surat kabar lokal yang menjadi tempat sejarah tersebut lahir dan berkembang.

Ca Bau Kan sebelumnya menjadi cerita bersambung di Harian Republika, Parijs van Java berseri di Koran Tempo, dan Kembang Jepun juga sempat menjadi cerita bersambung di Harian Surya Surabaya.

Seperti dalam novel Ca Bau Kan (1999), Kerudung Merah Kirmizi (2002), dan Parijs van Java (2003), Kembang Jepun juga menghadirkan sosok berlatar hitam putih.

Remy juga lebih senang menggunakan tokoh saya dan aku atau kata ganti orang pertama dalam lakon novelnya. Dalam Kembang Jepun di awal halaman tegas-tegas sudah tertulis: “Saya geisha. Saya suka menjadi geisha, sebab geisha menyenangkan. Gei berarti seni dan Sha berarti pribadi”.

Atau di bab terakhir: “Sebetulnya saya malu bercerita tentang diri saya. Sebab saya menyadari bahwa prikehidupan saya adalah ibarat suatu panggung kekotoran.”

Sosok orang pertama juga digunakan Remy dalam Kerudung Merah Kirmizi. Ini terlihat tegas dalam penggalan alinea: “Atasnama cinta, hormat, ketulusan, dan putusasa, setelah menjadi janda aku tetap menyandang nama suamiku, Andriono. Dalam kartu nama yang telah aku berikan kepada siapa saja, termasuk kepada Anda nanti, tertera nama jelasku, Ny. Myrna Andriono.”

Begitu juga halnya dalam Parijs van Java, seperti dalam paragraf: “Perkenalkan. Namaku Gertruida van Veen. Dengan menyebut namaku, moga-moga Anda segera maklum bahwa sebetulnya aku juga Belanda. Maksudku, nenek moyangku adalah Belanda belaka.”

Penggunaan kata saya atau aku dalam sebuah novel atau cerpen memang cukup menarik. Bila karya itu bagus, pembaca akan lebih berempati dan bahkan terlibat secara emosional. Pembaca akan mengerti, memahami nasib dan bahkan akan menyelami sosok dan pribadi tokoh dalam novel tersebut.

Tetapi tentu saja penggunaan kata ganti orang pertama ini kadang juga cukup menyulitkan untuk bercerita sesuatu yang berada di luar tokoh utama sehingga pelaku (saya) harus memposisikan sebagai orang yang tengah bercerita pengalaman masa lalu, seperti dalam kalimat: “Kelak saya akan berkata bahwa pandangan Kotaro Takamura dan orang-orang Jepang yang lain adalah sisa kesombongan masa silam.”

Sayangnya, dalam Kembang Jepun Remy tidak konsisten menggunakan kata ganti orang pertama ini. Dalam artian, Remy kesulitan ketika akan menceritakan hal-hal yang berada di luar tokoh utama. Misalnya di awal bab enambelas tertulis: “Tjak Broto dan mantan istrinya yang mantan Kembang Jepun itu, kini kembali lagi ke Surabaya.”

Padahal dalam konteks keseluruhan buku dan bab, tokoh utama sedang menceritakan dirinya sendiri. Pertanyaannya kemudian, berarti siapa yang sedang menceritakan kisah itu

Ketidakkonsistenan ini tentu saja cukup mengganggu. Dengan demikian Remy berada di posisi ‘orang luar’, tidak sebagai pelaku (saya). Bagi yang sudah membaca novel Memoar Seorang Geisha karya Arthur Golden, Kembang Jepun akan menjadi pelengkap pengetahuan pembaca mengenai kehidupan geisha. Namun demikian, Kembang Jepun tentu saja lebih unggul bagi pembaca domestik karena kedekatan atau proximity sejarah dan kedekatan emosional.