BARISAN.CO – Rektor Paramadina Didik J Rachbini menyampaikan perihal rencana amandemen ke 5 UUD 1945 terkesan tidak banyak menjadi perhatian publik. Padahal usulan itu telah disahkan tahun lalu oleh pimpinan MPR RI dan akan diputuskan dalam rapat paripurna mengenai agenda amandemen ke 5 UUD 1945.
Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES, Wijayanto mengatakan rencana amandemen ke 5 UUD 1945 jika dirunut dari konteks besarnya, akan berisi banyak hal. Seperti sebuah kotak Pandora, apabila dilakukan, maka langkah tersebut akan menyebabkan munculnya banyak hal buruk yang keluar dari kotak Pandora tersebut.
Obserasi LP3ES menyebutkan, salah satu peristiwa yang menandai kuat amandemen ke 5 UUD 45 dapat tercium segera setelah Pilpres 2019 setelah Jokowi berjumpa dengan Prabowo. Kemudian Prabowo juga berjumpa dengan Surya Paloh.
“Amandemen UUD 1945 lebih masuk akal memuat kepentingan perpanjangan jabatan kepala negara menjadi 3 periode. Selain isu lain yang menyertainya seperti membuat GBHN baru dan MPR sebagai lembaga tertinggi Negara,” terang Wijayanto pada acara Diskusi Publik “Amandemen Konstitusi : Urgensi, Jebakan, atau Pengkhiatan?”, Rabu, (22/9/2021)
Sementara itu, Peneliti Pusat Studi Hukum dan HAM LP3ES, Herlambang Wiratraman menyampaikan 3 catatan seirus dari rencana amandemen ke 5 UUD 1945.
Pertama, Rencana amandemen UUD 1945 tidaklah terpisah dari konteks kemunduran demokrasi yang sedang terjadi di Indonesia.
“Rencana tersebut sudah sayup-sayup terdengar sejak 2018. Jika dipandang dari sudut ekonomi politik ketatanegaraan, maka rencana tersebut terkait erat dengan kebutuhan-kebutuhan ekonomi politik interest group yang memasok gagasan mengapa UUD 1945 perlu untuk kembali diubah,” terangnya
Menurut Dosen Fakulas Hukum Unair yang kedua, tren kemunduran demokrasi yang terjadi, memperlihatkan dengan jelas konfigurasi politik yang menguatkan bekerjanya sistem politik oligarki.
“Ketiga, Rencana amandemen itu juga menguatkan ciri adanya sistem politik kartel,” terang Herlambang.
Sejauh ini tidak ditemukan alasan logis dan urgen untuk mengubah konstitusi. Rencana tersebut lebih terlihat sebagai bagian dari strategi politik dalam ranah sistem politik oligarki.
“Juga, tidak lahir dari ruang kosong politik, tetapi muncul dari ruang politik tertentu yang sarat kepentingan politik lebih besar dalam rangka melayani kebutuhan dan kepentingan politik sementara pihak,” pungkasnya. [Luk]