Scroll untuk baca artikel
Blog

Revitalisasi Sastra Pedalaman

Redaksi
×

Revitalisasi Sastra Pedalaman

Sebarkan artikel ini

ADIN Salahadin mengingatkan kembali soal Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP). Satu ‘gerakan’ yang pernah bangkit pada 1990-an. Mau melawan dominasi Jakarta yang ditahbiskan sebagai pusat seni dan sastra.

Pengingatan Adin disampaikan pada peluncuran perdana “Panen”. Antologi tunggal Beno Siang Pamungkas, di Kaula Kopi Semarang 11|2, koordinator Lukni Maulana.

Penyampaian Adin relevan, sebab Beno adalah pembangkit RSP, disamping Sosiawan Leak dan Kuspriyanto Namma. Intinya Adin mempertanyakan, gerakan yang melegenda itu tidak jelas konsep karyanya.

Ya, RSP sekadar nama, dengan istilah pedalaman, tapi tidak jelas konsep ‘pedalaman’ yang dimaksud. Adin pun membandingkan, apakah penamaan pedalaman sebangun dengan konsep sastra kontekstual Arief Budiman dan Ariel Heryanto.

Sebagaimana kita ketahui, sastra kontekstual adalah konsep sastra yang melakukan kontravita terhadap universalisme estetika dalam sastra. Setiap sastra kontekstual, ujar Arief, tapi dunia sastra kita ada dalam ketunggalan estetika yang diakukan universal.

Bagi saya istilah universal tidaklah tepat bagi ketunggalan nilai (estetika). Sebab pada kenyataannya, yang berlangsung bukanlah universalisasi tapi internasionalisasi. Satu wabah lirisisme (pemujaan terhadap romantisme).

Satu sikap kekaryan sok keren dan lebay, yang diadopsi dari puisi liris Emilly Dickinson. Lalu disebarkan ke seluruh dunia — oleh kaum kapitalis|liberalis — menjadi anutan nilai tunggal.

Sastra kontekstual, dengan sikap yang lebih membumi, mau melakukan kontra terhadap virus internasionalisasi itu. Itulah sebabnya, dalam buku “Perdebatan Sastra Kontekstual” (Ariel Heryanto, Ed), dimuat dua tulisan dari dua kubu.

Kubu ‘sastra universal’ dari Umar Kayam dan Goenawan Mohamad, dan kubu sastra kontekstual dari Emha Ainun Nadjib dan Rendra — sebagai contoh soal. Termasuk pemuatan karya yang mewakili dua kubu itu.

Sejak maraknya perdebatan ‘sastra universal’ dan sastra kontekstual pada 1980-an itu, dunia sastra kita senyap dari perdebatan. Meski perdebatan itu sesungguhnya kelanjutan sejak Armyn Pane hingga St Takdir Alisjahbana dengan konsep sastra bertendennya.

Kemudian perdebatan itu dipuncaki kontra antara Lekra dan Manikebu, yang berpuncak pada peristiwa politik berdarah 1965.

Sempat ada perdebatan setelah sastra kontekstual, ialah kala munculnya isue ‘puisi esai’ (Deny JA, dkk). Tapi perdebatan itu lebih bernuansa materi, ketimbang konsep.

Pengingatan Adin jadi menarik, untuk menghidupkan kembali ingatan pada RSP. Lagi, saya pikir masih relevan untuk diangkat dalam satu acara debat sastra, supaya tidak sepi suri. Sebabnya, dunia sastra kita tampaknya sempat bergairah. Manakala munculnya gosip ‘sastra kanon’ yang tampaknya mau melanjutkan visi ‘sastra universal’.

Mengapa tidak, ke depan Kaula Kopi mengadakan acara debat. Ya, debat sastra antara RSP dan ‘sastra kanon’. Sila, Lukni Maulana, gas pol!*