Oleh: Adib Achmadi
Kesenian tradisional pelahan bertumbangan. Sebagian ada yang punah. Sebagian lagi berusaha tegak meski jalan sempoyongan.
Jarang kita jumpai seni tradisional tampil percaya diri dan eksis superior di era saat ini. Banyak seni tradisional keberadaannya harus ‘dititah’ dan posisinya seperti semacam prasasti atau benda museum untuk unjuk bukti bahwa kita punya khazanah masa silam.
Contoh dari bertumbangannya kesenian tradisional tergambar dari dolanan anak yang makin tidak dijumpai lagi. Anak anak sekarang umumnya tak kenal lagi jenis dolanan masa lalu baik dalam wujud permainan, tarian, tembang-tembang dan lain-lain.
Keceriaan, kebebasan, kebersamaan, kehangatan, kreativitas anak turut surut bersamaan tenggelamnya dolanan anak.
Jika diperluas lagi, bukan hanya seni tradisi yang kian surut, tapi juga aktivitas tradisional utamanya di perdesaan. Kegiatan bertani, termasuk kegiatan bertanam yang merupakan corak masyarakat agraris juga mulai ditinggalkan. Pertanian adalah sektor yang banyak ditinggalkan. Petani mulai alih ‘profesi’ dari pertanian ke bidang-bidang lain. Dan generasi muda juga kian tak tertarik lagi menggeluti dunia pertanian.
Kegiatan guyub dan gotong royong yang merupakan ciri khas masyarakat perdesaan juga kian terkikis. Termasuk berbagai upacara tradisional perlahan semakin berkurang. Hilang sama sekali tentu tidak, tapi jumlah dan intensitasnya jauh berkurang.
Mengapa kegiatan tradisional, termasuk seni di dalamnya kian surut? Jawabnya adalah adanya perubahan zaman.
Bangsa kita tak bisa mengelak dari gerak perubahan terutama gelombang modernisasi beserta pernak-pernik yang menyertai di dalamnya. Modernisasi bergerak dari banyak arah, menerobos dinding keluarga, ruang-ruang pendidikan, panggung sosial budaya dan kebijakan pembangunan.
Modernisasi membawa pesan baru bernama kemajuan. Dan Bangsa ini sedang bergerak atau digerakkan menuju negara modern industrial.
Apa yang salah dari modernisasi? Jika modernisasi diartikan sebagai rasionalisasi dan pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat saya kira tak ada yang salah. Namun modernisasi bergerak lebih dari itu.
Dinamika modernisasi juga membawa serta alam pikir dan budaya barat. Apa yang disebut sebagai budaya barat utamanya adalah materialisme dan individualistis.
Kedua corak ini telah mengintervensi alam pikir masyarakat sedemikian jauh sehingga dalam banyak hal turut menggeser tatanan kehidupan. Corak kehidupan masyarakat kita yang bertumpu pada yang ruhani (batin) dan cara hidup yang komunal (guyub) kian alami pengikisan.
Gelombang kehidupan baru, gaya hidup baru, orientasi baru dan cara-cara hidup baru telah menenggelamkan tatanan yang ada menjadi usang dan ditinggalkan. Mulanya di kota-kota dan kemudian bergerak ke perdesaan. Pada posisi ini tradisi, termasuk seni tradisi turut tenggelam di dalamnya.
Masalah yang muncul adalah, apakah gerak kebudayaan baru itu adalah gerak kemajuan yang sudah tepat dan diterima? Apakah kita sudah siap meninggalkan yang lama untuk menuju tatanan baru?
Di satu sisi gerak modernisasi terus melaju dengan segala pernak-perniknya seraya tak bisa dicegah dan dihindari.
Di sisi lain muncul keresahan di sana-sini soal identitas, jatidiri dan perilaku yang menjauh dari nilai-nilai budaya. Pendidikan karakter bangsa dan persoalan akhlak sering mengemuka menjadi wacana merupakan bentuk kecemasan tersendiri. Menjamurkan sekolah-sekolah agama dan antusiasme masyarakat menyekolahkan anaknya di tempat itu untuk sebagian menjawab kerasahan atas berbagai gejala yang terjadi di masyarakat.