BARISAN.CO – Bahwasanya rezeki sudah diatur Allah Swt, jika seorang hamba berbicara takdir maka ia harus menerima takdir tersebut tanpa harus berusaha. Begitu juga jika seorang hamba memaknainya bahwa rezeki didapatkan melalui usaha.
Firman Allah Swt yang menerangkan rezeki sudah diatur sebagaimana dalam surah Hud ayat 6:
وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِى ٱلْأَرْضِ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۚ كُلٌّ فِى كِتَٰبٍ مُّبِينٍ
Artinya: “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).” (QS. Hud: 6).
Ayat di atas menjelaskan bahwa setiap makhluk yang ada dibumi, Allah Swt telah memberi jaminan rezeki. Meski demikian Allah Swt melalui firmannya, hendaknya seorang hamba memakan rezeki yang baik atau halal.
Allah Swt berfirman dalam surah Al Baqarah ayat 172:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُلُوا۟ مِن طَيِّبَٰتِ مَا رَزَقْنَٰكُمْ وَٱشْكُرُوا۟ لِلَّهِ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.” (QS. Al-Baqarah: 172).
Sebagaimana di awal bahwa jika berbicara rezeki bagian dari takdir dalam ranah ilmu tasawuf yakni bagaimana menyingkapi takdir ada 2 maqom yakni tajrid dan asbab. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam maqolah pasal 2 kitab Al-Hikam karya Syekh Ibnu Atha’illah As-Sakandari:
إرادَتـُكَ التَجْرِيْدَ معَ اِقامةِاللهِ اِيّاكَ فى الاَسْبَابِ مِنَ الشَهْوةِ الخفِيَّةِ، وَإرادَتـُكَ الاَسْبَابِ معَ اِقامةِاللهِ اِيّاكَ فى التَجْرِيْدَ اِنْحطاط ٌ عن الهِمَّةِ العَليَّةِ
Artinya: “Keinginanmu untuk tajrid (hanya beribadat saja tanpa berusaha untuk dunia), padahal Allah masih menempatkan engkau pada golongan orang-orang yang harus berusaha (asbab), maka keinginanmu itu termasuk nafsu syahwat yang samar (halus). Sebaliknya keinginanmu untuk berusaha (asbab), padahal Allah telah menempatkan dirimu pada golongan orang yang harus beribadat tanpa kasab (berusaha), maka keinginan yang demikian berarti menurun dari semangat yang tinggi.”
Adapun penjelasan dalam konteks rezeki, maqom tajrid yakni seorang hamba sekadar menerima rezeki tanpa usaha. Sebaliknya maqom asbab adalah seorang hamba jika ingin mendapatkan rezeki maka harus berusaha. Terlebih rezeki yang bersifat materi, meski segala bentuk rezeki sudah diatur Allah Swt.
Dua bentuk maqom ini juga bagian dari bentuk penghambaan seseorang. Allah Swt berfirman dalam surah Az-Zariyat ayat 56:
وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat: 56).
Kisah Imam Syafi’i dan Imam Malik
Ada kisah menarik membahas rezeki yang berkaitan dengan maqom di atas yakni kisah Imam Syafi’I dan Imam Malik menyikapi takdir.
Menurut Imam Syafi’i, jika ingin mendapkan sesuatu maka harus berusaha. Sementara gurunya yakni Imam Malik mengatakan bahwa, “segala sesuatu telah ditakdirkan Allah, maka sekadar menerimanya.”
Lalu, Imam Syafi’i mengatakan bahwa seekor burung jika tidak keluar dari sarangnya, bagaimana mungkin ia mendapatkan rezeki.”
Imam Syafi’i lantas keluar untuk jalan-jalan, di tengah ladang yang luas ia melihat sekelompok petani sedang memanen buah kurma. Imam Syafi’i lalu turut andil membantu petani kurma tersebut untuk memanen kurma.
Ketika perkerjaan sudah selesai, Imam Syafi’i mendapatkan imbalan satu karung kurma. Imam Syafi’i tentu merasa senang dan bahagia, dalam hatinya ia berkata, “Saya akan menemui gurunya Imam Malik, bahwa telah membuktikan dan menguatkan pendapatnya.”