Scroll untuk baca artikel
Blog

Ridwan Saidi, Sejarawan Publik yang Memancing Berpikir

Redaksi
×

Ridwan Saidi, Sejarawan Publik yang Memancing Berpikir

Sebarkan artikel ini

SEHARI sebelum meninggal saya masih menyimak dialog budayawan Ridwan Saidi (80) dalam siniar Fadli Zon. Pembicaraan masih tentang sejarah yang buku rujukannya tidak saya kenal wujudnya.

Selain soal kontroversi dan pendapatnya yang mendekonstruksi sejarah mapan, pemikiran dan buku rujukan yang didedahkan Ridwan Saidi, membuat saya takjub. Begitu luasnya pengetahuan dan bacaan budayawan cum sejarawan publik ini.

Saya tidak menyebutnya budayawan Betawi karena luasnya cakupan dan pengetahuan Babe — sebutan untuk Ridwan Saidi. Dari mulai soal riwayat nama jalan sampai politik mutakhir dari mulai sejarah pribadi dan kelakuan busuk politikus masa lalu hingga polah polikus masa kini. Babe sangat tahu karena ia pernah menjadi pelaku sejarah, menjadi politikus dan juga ‘yang terhormat’ anggota Dewan dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Saya juga menyebutnya sebagai sejarawan publik sebagai sandingan sejarawan akademisi. Sejarawan publik mendapatkan otoritas dan pengakuan dari masyarakat dan tidak kalah hebat dengan sejarawan akademisi yang diukur berdasarkan riset dan kepakaran akademisnya karena menulis di jurnal nasional atau internasional.

Karena kontroversialnya Ridwan Saidi selalu menjadi langganan sebagai narasumber Indonesia Lawyers Club (ILC). Ridwan Saidi dalam kadar kontroversinya sebanding dengan analis Rocky Gerung. Karena Karni Ilyas selalu menempatkan Ridwan Saidi dan Rocky Gerung sebagai pembicara terakhir. Keduanya selalu menjadi ‘Ending’ diskusi karena pendapatnya selalu mengejutkan dan tak terduga.

Setidaknya ada dua pendapat kontroversial Babe yang membuat dua wilayah ‘bergolak’. Pendapatnya memancing amarah sejumlah kalangan di Palembang, Sumatra Selatan dan juga warga Ciamis Jawa Barat.

Pertama, soal Kerajaan Sriwijaya yang dianggapnya tidak ada alias fiktif. Sriwijaya sendiri disebut sebagai kelompok bajak laut. Kedua, Babe juga menyebut Kerajaan Galuh itu juga tidak ada. Galuh sendiri artinya brutal.

Dua pendapat ini menjadi perdebatan berhari-hari. Berbagai tudingan dialamatkan kepada Babe. Sejumlah tokoh lokal ada yang terpancing emosinya dan banyak juga yang justru tergerak untuk kembali baca buku dan juga mendiskusikannya.

Publik pun semakin cerdas disuguhi beraneka pendapat dan beragam penafsiran. Sejarah yang hidup itu adalah sejarah yang masih bisa diperdebatkan dan diperbincangkan publik.

Tidak berarti berbeda pendapat harus saling benci dan bermusuhan. Ketika kontroversi mulai mereda dialog antartokoh pun berjalan.

Ridwan Saidi memberikan contoh itu. Helmy Yahya sebagai tokoh Sumatra Selatan mengajaknya berdialog dengan penuh keakraban dalam siniarnya.

Begitu juga Kang Dedy Mulyadi sebagai tokoh Sunda berdialog tanpa saling menghakimi dalam kanal YouTube-nya. Saling berceloteh dan diselingi tawa terbahak-bahak.

Babe dikuburkan di Pemakaman Karet Bivak, Jakarta Pusat. Sebuah pemakaman di pusat kota yang menjadi kuburan tokoh-tokoh penting bangsa ini seperti Abu Hanifah, MH Thamrin Benyamin Sueb, M. Natsir, Chairil Anwar, Chairul Saleh, Fatmawati, Firman Muntaco, Iswadi Idris, Ismail Marzuki, Pramoedya Ananta Toer, Rohana Kudus dan SM Ardan.

Selamat jalan Babe!