Scroll untuk baca artikel
Analisis Awalil Rizky

Risiko Besarnya Kepemilikan SBN oleh Bank dan Bank Indonesia

Redaksi
×

Risiko Besarnya Kepemilikan SBN oleh Bank dan Bank Indonesia

Sebarkan artikel ini

Awalil Rizky
Ekonom

Dampak pandemi memaksa Pemerintah berutang jauh lebih besar dibanding sebelumnya. Salah satu instrumen utamanya berupa penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) domestik atau berdenominasi rupiah. Sekitar 96,72% dari SBN domestik bersifat bisa diperdagangkan.

Posisi SBN domestik diperdagangkan hingga akhir Agustus mencapai Rp4.369,51 triliun. Bertambah Rp1.536,15 triliun jika dibanding akhir Maret 2020 yang sebesar Rp 2.833,36 triliun. Bertambah 54,22% dalam waktu satu setengah tahun.

Penerbitan SBN bruto tentu saja lebih besar dibanding nilai tambahan tersebut. Sebagian SBN telah dilunasi dalam kurun waktu itu. Tambahan tadi bersifat neto.

Terlepas kebutuhan mendesak membiayai penanganan pandemi dan program pemulihan ekonomi, harus ada pihak yang menyerap atau membeli SBN. Peningkatan serapan alamiah dari pasar sesuai rekam jejak masa lalu akan tidak mencukupi.

Kebijakan yang kemudian diambil antara lain membolehkan Bank Indonesia (BI) membeli SBN di pasar perdana. Sebelumnya, setelah era program rekapitulasi perbankan, BI hanya memiliki SBN melalui pasar sekunder. Termasuk memiliki repo SBN milik bank.

Skema pembelian beragam sesuai perkembangan kondisi sepanjang tahun 2020. Skema cara pembelian, antara lain berupa penempatan langsung (private placement), lelang, dan lelang tambahan.

Beban bunga pun sesuai skemanya. Ada SBN yang tidak berbunga, berbunga rendah mengikuti suku bunga acuan BI, dan ada yang sesuai pasar. Publik dijelaskan sebagai kebijakan “berbagi beban” antara Bank Indonesia dan Pemerintah, yang dihubungkan dengan program penanganan pandemi serta program pemulihan ekonomi nasional. 

Pada tahun 2021, kebijakan berbagi beban masih dilanjutkan. Direncanakan masih berlangsung hingga tahun 2022. Skema teknis memang mengalami beberapa perubahan. Namun, dampaknya terhadap BI antara lain makin besarnya kepemilikan SBN, serta tidak memperoleh pendapatan bunga setara ketika belum adanya kebijakan itu.

Kepemilikan BI atas SBN domestik diperdagangkan secara keseluruhan (gross) per 31 Agustus 2021 mencapai Rp998,92 triliun. Merupakan 22,86% dari seluruh SBN domestik yang diperdagangkan.

Peningkatan nilai nominal dan porsi kepemilikan BI dapat diperbandingan dengan saat belum ada kebijakan berbagi beban. Pada akhir Desember 2019, posisinya sebesar Rp262,49 dan porsinya sebesar 9,93 %. Selama bertahun-tahun sebelumnya, porsi kepemilikan BI hanya di kisaran 9%. 

Publikasi terkini membedakan antara kepemilikan BI yang bersifat untuk operasi moneter dan sebagai institusi negara. Dari kepemilikan gross pada akhir Agustus 2021, yang untuk keperluan moneter sebesar Rp353 triliun atau 8,08% dari total SBN domestik yang diperdagangkan. Sebesar Rp645,92 triliun atau 14,78% dianggap kepemilikan sebagai institusi negara.

Meski disebut kebijakan berbagi beban, BI secara keseluruhan sebenarnya memperoleh pendapatan bunga. Hanya nilainya tak sebesar andai tanpa skema. Laporan keuangan BI tahun 2020 tetap mencatat surplus sebesar Rp26,73 triliun. Pada tahun 2021 pun diprakirakan masih akan surplus.

Isu kebijakan terkini, pada tahun 2022 memang BI diprakirakan berpotensi mengalami defisit. Bahkan, bisa berlangsung hingga tahun-tahun berikutnya. Namun, soalan defisit BI tampak tidak terlampau mengkhawatirkan, antara lain karena nilainya masih cukup terkendali.

Persoalan lebih berat terkait dengan nilai dan porsi kepemilikannya yang makin besar. Diantaranya terhubung erat dengan porsi kepemilikan bank-bank yang juga makin besar.

Kepemilikan bank atas SBN domestik diperdagangkan per 31 Agustus 2021 mencapai Rp1.108,51 triliun atau berporsi sebesar 25,37%. Pada akhir tahun 2019, posisinya baru sebesar Rp570,65 triliun atau 20,73%.