Penerbitan SBN domestik selama setahun terakhir terutama diserap oleh Bank Indonesia dan bank. Terdapat pula peningkatan kepemilikan oleh perusahaan asuransi dan dana pensiun. Adapun kepemilikan individual atas SBN ritel memang naik berlipat, namun nilai totalnya belum besar. Kepemilikan individual hanya sebesar Rp195 triliun pada akhir Agustus 2021.
Porsi BI yang makin besar jelas akan sangat mempengaruhi kemampuanya dalam menjalankan tugas utamanya sebagai otoritas moneter. Sedangkan porsi kepemilikan bank yang sudah dan makin besar berdampak pada fungsi utamanya dalam menyalurkan dana kredit ke sektor riil.
Peningkatan kepemilikan oleh bank hingga saat ini memang membuat keuangannya tampak lebih aman. Bagaimanapun, hal itu beriringan dengan laju kredit yang masih terkontraksi. Meski telah didorong oleh BI dengan kebijakan penurunan suku bunga dan kebijakan teknis lainnya, bank-bank masih “enggan” memacu kreditnya. Bisa dimaklumi, karena masih tingginya risiko kredit saat ini.
Dari uraian di atas, salah satu soalan yang menghadang adalah bagaimana mengharmoniskan antara kebutuhan pemerintah dalam penerbitan SBN dengan kebutuhan dana segar berupa kredit pihak swasta dan masyarakat atau untuk sektor riil.
Jika pemulihan ekonomi berlangsung sesuai harapan, maka bank sangat mungkin butuh dana lebih besar. Antara lain bisa diperoleh dengan menguangkan SBN yang dimilikinya. Secara teknis, bank dapat menjual di pasar sekunder atau “mencairkannya” ke BI.
Serapan pasar sekunder SBN selain BI berpotensi tidak meningkat sepesat penawarannya. Perlu ditambahkan bahwa pemerintah masih menerbitkan SBN yang cukup besar, karena beban APBN, termasuk untuk membayar utang dan bunga utangnya. Artinya, pasar diharapkan membelinya lagi.
Adapun pihak Bank Indonesia tampaknya bersepakat dengan Pemerintah untuk tetap membeli SBN pada tahun 2022. Dengan nilai dan porsi kepemilikan yang telah cukup besar saat ini, mungkin BI akan banyak pertimbangan untuk membantu perbankan mencairkan SBN.
Pihak lainnya seperti perusahaan asuransi, dana pensiun, dan individu memiliki keterbatasan dana. Dengan keterbatasan pertumbuhan dana, penambahan porsi SBN dalam portofolio mereka, akan berdampak pada porsinya di perbankan. Bisa pula mengurangi minat untuk mengalokasikan pada instrumen yang berdampak lebih langsung bagi sektor riil.
Tantangan berat telah menghadang untuk menjual SBN kepada pihak asing. Banyak negara sedang berebut sumber utang. Isu adanya tapering off dari the Fed, akan meningkatkan tensi persaingan. Indonesia yang telah memberi imbal hasil SBN yang lebih tinggi dibanding banyak negara lain selama setahun ini terbukti tidak mencukupi.