Scroll untuk baca artikel
Analisis Awalil Rizky

Risiko Gagal Bayar Utang dalam RAPBN 2022

Redaksi
×

Risiko Gagal Bayar Utang dalam RAPBN 2022

Sebarkan artikel ini
Awalil Rizky
Ekonom

Risiko fiskal atau risiko keuangan negara menjadi perhatian serius dalam dokumen Nota keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2022. Kata risiko fiskal muncul hingga 169 kali. Diuraikan pula dalam bab tersendiri.

Risiko secara sederhana diartikan sebagai pemburukan kondisi yang bersifat tidak terduga atau sekurangnya melampaui yang diharapkan. Risiko fiskal merupakan risiko dalam pengelolaan APBN, aset dan kewajiban negara.

Salah satu bagian dari risiko fiskal adalah risiko utang. Yaitu risiko tidak bisa memenuhi kewajiban, seperti pelunasan utang pokok dan pembayaran bunga. Tidak harus terhadap seluruh kewajiban, melainkan pada sebagian utang, baik yang berjenis pinjaman ataupun SBN.

Sejauh ini, kegagalan membayar beban utang (default) tidak pernah terjadi pada berbagai era pemerintahan setelah reformasi. Bahkan, pada saat krisis 1997/1998, Pemerintah masih berhasil memenuhi kewajibannya, meski dengan susah payah.

Tidak pernah bukan merupakan jaminan untuk tidak bisa terjadi di masa mendatang. Kondisi beban utang dan kemampuan keuangan negara untuk membayarnya harus selalu dicermati secara sangat jeli. Baik dalam hal kondisi terkini, maupun proyeksinya hingga beberapa tahun ke depan.

Ada beberapa indikator penggambaran risiko utang, yang merupakan hasil kajian akademis berdasar pengalaman banyak negara di masa lalu. Tentu ada faktor lainnya karena perbedaan antarnegara. Misalnya kondisi sosial politik, kondisi geografis, faktor posisi dalam dinamika ekonomi global, dan soalan lainnya.

Ada risiko lain yang bersifat implisit, atau kurang tergambar jelas dalam berbagai rasio. Ketika pemerintah tercatat berhasil membayar kewajiban utangnya, namun hal itu dilakukan dengan bersusah payah. Akibatnya, pemerintah tidak memiliki dana memadai menjalankan kewajiban memberi pelayanan publik, serta kesulitan melaksanakan pemerintahan secara memadai.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai salah satu lembaga tinggi negara makin menyadari urgensi kesinambungan fiskal dalam pengelolaan keuangan negara Indonesia. BPK mengeluarkan dokumen resmi dalam dua tahun terakhir, yang disebut sebagai Laporan Hasil Reviu (LHR) Kesinambungan Fiskal. LHR disampaikan kepada DPR dan Pemerintah bersamaan dengan hasil pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). Dokumen LHR tersebut terbuka bagi publik.

LHR untuk kondisi hingga akhir tahun 2019 dipublikasi pada pertengahan tahun 2020. LHR untuk kondisi hingga akhir tahun 2020 dipublikasi pada akhir Mei 2021 lalu. LHR terakhir disajikan dalam dokumen yang lebih tebal dengan memberi asesmen atas variabel atau indikator secara lebih detail. Reviu atas soalan utang bisa dikatakan lebih jelas dan tegas, serta memberi rekomendasi.

Wajar jika kemudian ketua BPK menyampaikan sebagian isi LHR kepada publik secara lebih terbuka dibanding tahun sebelumnya. Berkembang wacana publik tentang kekhawatiran BPK atas kemampuan Pemerintah dalam menunaikan kewajiban utangnya.

Hasil LHR BPK terkait utang pemerintah antara lain menekankan pada dua hal. Pertama, tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga melampaui pertumbuhan PDB dan Penerimaan Negara yang memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang.

Kedua, indikator kerentanan utang pada tahun 2020 melampaui batas yang direkomendasikan oleh International Monetary Fund (IMF) dan atau International Debt Relief (IDR).

Rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77% melampaui rekomendasi IMF sebesar 25 – 35%. Rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06% melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6 – 6,8% dan rekomendasi IMF sebesar 7 – 10%. Rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369% melampaui rekomendasi IDR sebesar 92 – 167% dan rekomendasi IMF sebesar 90 – 150%.