ADA kabar tentang peperangan di kejauhan laut, dan korban terapung seperti ikan-ikan mati. Tak ada pelayaran, kecuali seekor sapi terpancang di tiang-tiang bagang. Lenguhnya pertanda, masih ada kehidupan di tengah laut. Meski yang terjadi, kerinduan si sapi pada pedati yang konon terlempar jauh hingga ke balik gunung. Seorang nelayan berkabar, laut pasang, angin surut bersama kelandaian laut membiru menepiskan buih hijau ke hamparan pasir. Langit memerah dan awan menguning, seperti bayangan tali menjerat leher sapi. Guntur dari cakrawala jauh mengirimkan pesan, bahwa hujan berupa jarum. Kerinduan pedatikah yang bakal sampai pada sepi, pada tiap hati menyembilu.
Alkisah perang telah usai setelah kematian para nabi, dan setiap manusia telah memanggul salib masing-masing. Si Tukang Pedati masih mengeja makna hidup, di pihak kalah atau menang. Atau biarkan jiwa tidur sepanjang hari, hingga pekan berganti, bulan berganti, tahun berganti. Lalu abad dihidupkan kembali, seperti dahulu saat ia mengembara bersama sapi. Seabad lalu ia menyelundupkan senjata untuk para pengungsi, lalu tidur bertahun-tahun. Saat terbangun ia tak menemukan sapi dan pedatinya, kecuali detik saat moncong-moncong senjata mengarah ke tubuhnya. Ia mencoba mengeja namanya, tapi ia sendiri lupa. Ingatannya hanya satu, suara giring-giring yang mengelontong di leher sapi dan pedati yang terseok-seok sepia.
Hingga ia memutuskan, bahwa jiwanya musti hidup kembali sebagai nelayan atau petani atau blandong penebang kayu jati. Akan tetapi eksekusi yang dihadapi memutus impiannya, sekali Tukang Pedati tetap Tukang Pedati. Dan saat Pengeksekusi memberikan tawaran yang diinginkan, hanya satu permintaan yang terucap. Bahwa ia musti beranak-pinak sebagaimana sapi, dan musti mencari sapi dan pedatinya. Mendadak terlintas angan tentang dua pilihan wanita sebagai isteri, seorang ibu yang punya anak mesti tak pernah dibuahi atau seorang pelacur yang terancam dirajam. Ia tak bisa memilih karena hidupnya memang tak pernah memilih, ia hanya pasrah. Mungkin dalam perjalanan lanjut ia bakal menemukan salahseorang dari dua wanita itu.
“Mana yang kau utamakan, isteri atau sapi dan pedatimu?” tanya Pengeksekusi, sambil menggelandang seorang wanita dengan wajah tertunduk dan rambut terurai.
“Aku tidak pernah mengutamakan satu hal pun dalam hidup.”
“Ini perempuanmu,” tukas Pengeksekusi, “paling tidak dia bisa menunjukkan dimana pedatimu berada.”
“Kenapa musti dia?”
“Aku bisa membaca pikiranmu. Dialah perempuan yang terancam dirajam.”
“Kenapa dia terancam dirajam?”
“Karena dia perempuan pendosa.”
“Kenapa tidak segera dirajam?”
Pengeksekusi terdiam. Ia menyeringai, apa yang bergejolak di balik tatapan tajam Pengeksekusi yang berubah meredup. Gumamnya, siapa diantara kalian yang bukan pendosa, yang punya hak merajam wanita yang dikatakan pendosa ini.
Seperti mafum apa yang melindap dalam pikiran Si Tukang Pedati, Perempuan Pendosa itu menyunggingkan satu senyuman kemudian melangkah. Dalam todongan moncong-moncong senjata ia pun mengikuti langkah Perempuan Pendosa yang bagai terbawa kesiur angin. Pakaian compang camping itu seperti ribuan tangan melambai-lambai oleh angin gurun yang semakin meniup santer.
ADA suara mengeriyut di balik gunung, seperti keriyut kayu terombang-ambing angin. Ia segera mengenali itu pedatinya yang menyepi-nyepi. Langkahnya yang selalu tertinggal mencergas, saat Perempuan Pendosa mengulurkan tangan dan menggandeng tangannya. Membimbingnya meloncati batu-batu, hingga ke balik gunung. Selanjutnya suara keriyut kayu seperti mengiringi nyanyian terbawa kesiur angin di perbukitan. Seperti nyanyian anak gembala di punggung sapi dengan buluh perindunya, membuat si sapi tidak lagi meronta. Matahari lengser ke ufuk barat, dan gelap mulai menyaput malam tanpa bulan. Hanya bintang-bintang bertaburan, mirip tetes-tetes keringat dalam bayang-bayang bidadari dan para malaikat pecinta segala yang hidup.