Pemberian modal dari program Bulog melalui on farm kemitraan mewajibkan mitra untuk membayar kembali pinjaman setelah panen. Namun, tidak jarang petani mengalami gagal panen. Sehingga Rofandi menyarankan agar pembagian risiko harus menjadi pertimbangan.
“Betul jika gagal panen, jika model pinjamannya umum seperti perdagangan lagi-lagi petani jadi korban,” katanya.
Ia pun memberikan solusi alternatif yang lebih adil dengan menggunakan koperasi bukan perdagangan maupun perbankan.
“Harus bottom to up bukan top to down. Jika ekonomi koperasi diterapkan pada bidang pertanian, misalnya padi, saya yakin akan lebih berkeadilan. Tetapi yang paling utama adalah kebijakan pemerintah yang memihak sektor pertanian ini. Jangan ketika masalah panen raya, hasil panen menumpuk diserahkan ke mekanisme pasar. Lalu jika kekurangan ditutup impor. Jadi peran petani menjadi pelengkap penderita dalam arti sebenarnya,” jelas akademisi yang fokus dengan mekanisasi pertanian ini.
Ia pun memperkirakan jika pemerintah lebih memilih impor dikarena adanya banyak kepentingan di dalamya. Pemburu rente menurutnya menikmati ini. Kalau mau sungguh-sungguh, menurut Rofandi sebenarnya tidak sulit, yang sulit itu mendidik orang agar tidak serakah.
“Dengan teknologi, kita bisa panen untuk mencukupi kebutuhan, bahkan 2 sampai 3 kali jumlah penduduk kita. Tapi menuruti orang serakah, seluruh panen tidak bisa mencukupi keserakahan ini. Akibatnya, semua berbiaya besar ini yang dianggap sulit. Jika ada kemauan saya kira tidak sesulit yang dibayangkan. Untuk mengambil contoh di sektor padi kita hanya kekurangan dua hingga tiga persen dari total kebutuhan, tapi mengapa ditutup dengan impor yg demikian banyak? Karena ada pihak yang diuntungkan bahkan hingga triliunan rupih jika keran ini dibuka. Keserakahannya ini yang harus disingkirkan,” tutup Rofandi. []