Barisan.co – Bulog berupaya menjamin ketersediaan stok pangan tetap aman terutama beras agar kebutuhan penyaluran di seluruh Indonesia dan turun serta berperan dalam usaha pemberdayaan juga mengembangkan kondisi ekonomi sosial masyarakat ataupun lingkungan sekitar. Salah satu program kemitraan yang ditawarkan oleh Bulog untuk hal itu ialah melalui program rice milling farm atau penggilingan padi.
Menurut Rofandi Hartanto, kasus pertama rice milling farm sudah terjadi. Ia menuturkan jika beberapa tahun lalu, sebuah perusahaan besar membangun sebuah rice milling di satu kabupaten di Jawa Tengah dengan kapasitas produksinya mencapai luas sekitar 4 hingga 6 kabupaten untuk mencapai Break Event Point.
“Asumsinya begini, kabupaten sekitar akan menyetorkan hasil panennya ke perusahaan tersebut, dan ini ternyata tidak terjadi. Perusahaan nyaris bangkrut. Entahlah apa ini bisa diselamatkan dengan omnibus law,” tutur Rofandi ketika dihubungi tim Barisan.co, Kamis (17/12/2020).
Pria kelahiran Wonogiri tersebut mengaku sempat diminta untuk menjadi konsultan perusahaan itu. Namun, ia menolak. Baginya, rice milling unit harus di kelurahan atau kecamatan agar bisa mengontrol panen dan memberi kesejahteraan pada rakyat.
Selain itu, Rofandi menilai modal yang ditawarkan pemerintah kepada petani beras membutuhkan keberpihakan atau kebijakan politik pemerintah. Jika demikian, ia meminta pemerintah untuk tidak mensubsidi harga komoditas, karena korbannya sudah dipastikan adalah petani.
“Tetapi yang disubsidi adalah anggota masyarakat yang berpenghasilan rendah sehingga efektif penggunaannya dan tidak mengorbankan sektor pertanian sebagai bamper pembangunan,” kata pria yang sempat mengenyam pendidikan di Universitas Gajah Mada tersebut.
Pinjaman modal yang selama ini diberikan oleh pemerintah pun yang dapat memutar modal tersebut ialah perbankan dan industri.
“Pertanian itu sektor yang tidak atau jangan dimasukkan ke dalam kelompok industri bisa habis petani kita. Pertanian adalah pilihan budaya sebagai peasant bukan farmer. Peasant atau petani harus disertai dengan kebijakan kepemilikan lahan yang terukur secara ekonomis, dan petaninya sejahtera, tetapi bukan dengan pinjaman modal dalam makna perdagangan biasa,” tutur pria kelahiran tahun 1965 itu.
Rofandi menambakan bahwa posisi Bulog sekarang menjadi pedagang. Sudah jauh dari idealitas saat Bulog didirikan.
“Masak lembaga yang menjamin ketahanan pangan diwajibkan berbisnis. Pasti yang dimenangkan bisnisnya dan petani jadi korban. Jika berbisnis sekalian posisi petani sebagai plasma dari inti boleh saja, tetapi perjanjian dan pelaksanaannya harus dikawal. Dan petani selalu harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Namun perwakilan petani sering kali menyelewengkan kepercayaan ini,” tegas dosen fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Pemberian modal dari program Bulog melalui on farm kemitraan mewajibkan mitra untuk membayar kembali pinjaman setelah panen. Namun, tidak jarang petani mengalami gagal panen. Sehingga Rofandi menyarankan agar pembagian risiko harus menjadi pertimbangan.
“Betul jika gagal panen, jika model pinjamannya umum seperti perdagangan lagi-lagi petani jadi korban,” katanya.
Ia pun memberikan solusi alternatif yang lebih adil dengan menggunakan koperasi bukan perdagangan maupun perbankan.
“Harus bottom to up bukan top to down. Jika ekonomi koperasi diterapkan pada bidang pertanian, misalnya padi, saya yakin akan lebih berkeadilan. Tetapi yang paling utama adalah kebijakan pemerintah yang memihak sektor pertanian ini. Jangan ketika masalah panen raya, hasil panen menumpuk diserahkan ke mekanisme pasar. Lalu jika kekurangan ditutup impor. Jadi peran petani menjadi pelengkap penderita dalam arti sebenarnya,” jelas akademisi yang fokus dengan mekanisasi pertanian ini.