BARISAN.CO – Barangkali kita masih mengingat pelajaran Bahasa Jawa waktu sekolah dasar (SD) yakni tentang Rojo Koyo. Arti dari rojo koyo hewan peliharaan yang dapat memberikan nilai tambah. Hewan yang termasuk rojo koyo yakni kambing, kerbau, dan sapi.
Makna kebudayaan itu, berasal dari dua kata yakni rojo berarti raja dan koyo artinya kekayaan. Jadi rojo koyo adalah raja kekayaan, sebab dengan memiliki hewan peliharaan tersebut, ada nilai lebih dari sekadar menjadi petani.
Di masyarakat itu merupakan simbok kekayaan bagi pemiliknya, dimana hampir keseluruhan masyarakat desa yang bekerja jadi petani. Seperti sapi menjadi perlambang kekayaan bagi pemiliknya.
Hewan bukan sekadar untuk diternak. Namun sebagaimana nilai tambah tadi, yakni dengan memanfaatkan untuk membajak maupun untuk angkutan pada masa itu. Bahkan kotoran hewan ternak tersebut diolah menjadi pupuk kandang, lalu digunakan untuk merabuk atau memupuk tanah. Sehingga pertanian dahulu menggunakan pupuk organik, dan tentunya menghasilkan produk organik.
Saat Pandemi Covid-19, rojo koyo dapat memberikan hikmah bagi kita. Jika orang-orang yang bekerja di kantor, perusahaan swasta, atau mereka yang bekerja di kota tentu sangat terdampak.
Lain lagi dengan masyarakat pedesaan yang masih memegang nilai-nilai kebudayaan. Meski hasil pertanian sangat berdampak, karena harga jual turun. Tapi mereka masih memiliki nilai tambah, untuk memenuhi kebutuhannya.
Jadi diartikan era saat ini dengan istilah aktif income dan passive income, pertanian adalah aktif income. Sedangkan rojo koyo adalah passive income. Begitu luar biasanya orang-orang desa dalam berpandangan.
Aset negara
Marilah kita sejenak berfikir jernih dan sedikit saja kerahkan segala pikiran bersih dari keilmuan. Yakni tentang “Apakah kita sudah menjadi raja, atas kekayaan yang melimpah ruah ini adalah perlambang rojo koyo?”
Aset-aset negara dikuasai pihak asing, mulai dari tanah hingga pertambangan. Begitu juga korupsi yang membelenggu, kekayaan negara diambil untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Bahkan Presiden Joko Widodo melalui peraturan presiden mengizinkan pihak asing mengelola aset infrastruktur.
Bisa jadi kita adalah raja, karena kita adalah pemiliknya; ada pemilik dan pekerja. Seperti di desa ada namanya tuan tanah sebagai pemilik lahan, dan pekerja yang mengerjakan lahan.
Raja yang diberikan kursi kekuasaan, namun sebagian kekayaan sudah hilang tertelan. Oh..oh, kita ini raja. Tapi raja yang mudah di bohongi, bukannya kita bodoh cuman hanya pura-pura bodoh.
Atas nama investasi, kita memiliki kekayaannya, negara asing sebagai pekerjanya. Sayang seribu kali sayang hanya dengan selembar perjanjian investasi dunia ini jadi terbalik.
Kita memilikinya, asing pekerjanya dan asing memilikinya. Lalu kita yang bekerja dan mendapatkan sedikit upah untuk bela sungkawa.