Scroll untuk baca artikel
Blog

Ruang Publik dalam Genggam Kekuasaan

Redaksi
×

Ruang Publik dalam Genggam Kekuasaan

Sebarkan artikel ini

NEGARA demokrasi meniscayakan partisipasi masyarakat sipil. Sebagai antitesa monarki yang kekuasaan pemerintahnya bersifat absolut, demokrasi menempuh jalan sebaliknya: kekuasaan pemerintah dibatasi, dan rakyat diberikan ruang mengontrol kebijakan pemerintah melalui partisipasi di ruang publik.

Hal ini mengindikasikan keberadaan ruang publik sangat vital. Agar masyarakat bisa bebas berpartisipasi dalam ruang publik, maka mesti dipastikan bahwa ruang publik tidak berada dalam genggaman kekuasaan pemerintah. Ruang publik yang dikendalikan oleh pemerintah akan memandulkan partisipasi masyarakat di dalamnya.

Pemikir mazhab Frankfurt Jurgen Habermas memberikan penekanan khusus betapa pentingnya ruang publik dalam Negara demokrasi. Bagi Habermas, ruang publik merupakan ruang demokrastis di mana di dalamnya masyarakat mampu menyampaiakana pandangan, opini, kepentingan, dan kebutuhan mereka secara diskursif.

Ruang publik juga merupakan wadah yang di dalamnya masyarakat bisa menyampaikan pandangan mereka kepada pemerintah secara bebas, tanpa ada intervensi atau tekanan sedikitpun dari kekuasaan.

Habermas meyakini ruang publik dapat bertindak sebagai wadah untuk menghimpun solidaritas masyarakat guna melawan mesin pasar kapitalisme dan mesin politik kekuasaan. Ruang publik tidak bisa dibatasi pada sekadar institusi formal seperti ruang DPR, rapat resmi dan lain lain. Singkatnya, di mana ada masyarakat berkumpul, maka disitu ruang publik terbentuk.

Pentingnya ruang publik sebagai wadah kontrol terhadap kekuasaan tidak terjadi di era sekarang ini. Pemerintah yang lebih tertarik pada demokrasi prosedural melakukan campur tangan terlalu jauh ke dalam ruang publik. Ruang publik dintervensi secara massif bahkan diacak-acak untuk kepentingan kekuasaan.

Kita menyadari betul, di hari-hari belakangan ini, ruang publik kita sangat jauh dari prinsip partisipasi yang sehat. Jauh dari harapan untuk menjadikannya sebagai pengontrol kekuasaan melalui kebebasan menyampaikan pandangan tanpa intervensi kekuasaan.

Ruang publik kita disusupi oleh buzzer-buzzer otak receh. Tugas buzzer ini sangat sederhana, melakukan pembungkaman terhadap suara kritis yang muncul dari masyarakat melalui framing negatif, mengutak-atik kehidupan pribadi si pengkritik lalu dijadikan peluru untuk menyumbat mulut masyarakat yang bersuara kritis.

Pemerintah nampaknya juga merasa nyaman dengan kehadiran buzzer otak receh ini. Fitnah yang mereka lontarkan kepada masyarakat yang kritis pada kekuasaan tidak pernah diproses secara hukum, hanya dibiarkan terus berlanjut, sehingga wajar bila masyarakat berpikir buzzer-buzzer otak receh tersebut memang sengaja dipelihara oleh istana.

Dengan massifnya kooptasi kekuasaan oleh kaki tangan penguasa di ruang publik, maka masyarakat tidak boleh menyerah begitu saja. Bila kelompok kritis masyarakat menyerah di tengah kuatnya tekanan yang dialamatkan kepada mereka, berarti lonceng kematian demokrasi telah berbunyi.

Penting bagi kelompok kritis untuk terus bersuara, kritik konstruktif yang terus disuarakan di ruang publik akan memastikan ruang publik tidak dijarah oleh kekuasaan.

Saat buzzer mulai dikerahkan untuk memadamkan suara kritis, maka penguasa sebenarnya sudah sampai pada titik ketakutan tertinggi akan kehilangan kekuasaan. Sehingga, masyarakat yang bersuara tanpa menenteng senjata harus dihadapi dengan represi pemikiran melalui pengerahan buzzer secara massif. []