BARISAN.CO – Kini, setiap hari, sirine ambulans tanpa henti menggema di seluruh penjuru kota. Air mata duka pun pecah di saat keluarga, saudara, atau teman menjadi korban meninggal atas virus Covid-19. Kematian memang sudah menjadi takdir bagi manusia. Akan tetapi, kekhawatiran menjadi korban pun tak dapat dihindari.
Berdiam diri dalam rumah memang bisa meminimalisir kemungkinan terpapar virus. Sayangnya, tak semua orang dapat melakukannya terutama bagi mereka yang harus mencari nafkah untuk bertahan hidup. Namun, di antara mereka yang keluar rumah, ada yang hanya ingin mencari kesenangan bukan untuk bekerja. Mereka menganggap diri mereka memiliki imun yang kuat bahkan tak percaya akan bahaya Covid-19 walaupun media telah memberitakannya. Lagi, ego kita yang membuat ini terjadi.
Pandemi telah berlangsung lebih dari setahun terakhir. Namun, tak bisa dipungkiri masih ada beberapa orang yang menganggap Covid-19 tidak berbahaya dan bahkan itu hanya rekayasa. Ketika ucapan itu terlontar, rasanya ingin mengirim mereka ke ruangan isolasi bersama pasien positif agar mereka merasakan kebenarannya secara langsung.
Jangan terus gunakan alasan jika pemerintah bersalah. Ya, pemerintah memang bersalah karena mengeluarkan pernyataan yang tak menanggapi serius virus Covid-19. Meskipun begitu, untuk menjaga diri sendiri dan orang di sekitar, ego kita perlu dihilangkan.
Ego merupakan penyebab konflik dalam tatanan masyarakat. Saat kita merasa benar, tapi melakukan tindakan yang keliru, itu hanya akan membuat banyak orang menjadi korban.
Mungkin kita merasa sehat, namun siapa yang tahu bahwa kita saat ini positif Covid-19? Dan, saat bertemu orang-orang tanpa mengikuti protokol kesehatan, orang yang rentan terutama memiliki penyakit bawaan akan mejadi korban atas keteledoran kita.
Seperti yang dikatakan oleh psikolog, F. Diane Birth bahwa terdapat dua pilar utama dari keegoisan yaitu memerhatikan secara berlebihan atau ekslusif dengan diri sendiri dan tidak memedulikan kebutuhan atau perasaan orang lain.
Kita tahu bahwa setiap orang memiliki ego, namun bisakah kita menghentikannya sementara hingga pandemi berubah menjadi endemi? Memang belum ada jaminan akan waktu berakhirnya situasi saat ini, namun tidakkah kita merindukan situasi normal seperti sebelumnya?
Jujur, rasa itu muncul ketika melihat beberapa negara sukses menekan jumlah kasus bahkan sampai nol. Tidakkah kita juga menginginkannya?
“Pasien itu hanya dicovidkan sehingga membludak,” Tidakkah pernyataan seperti ini juga akan menyakiti para tenaga medis yang berjuang di arena perang melawan musuh yang tak kasat mata. Mereka bekerja keras bukan untuk dituduh ini-itu. Mungkin memang ada kasus seperti itu, namun bukan berarti pernyataan itu dapat dibenarkan dan terus disebarkan melalui kolom komentar maupun status media sosial kita.
Jika mengulik hasil laporan Institute for Health Metrics and Evalution, jumlah kasus di Indonesia sebenarnya jauh lebih tinggi dari yang dilaporkan. Itu bisa benar jika melihat masyarakat tidak begitu mematuhi aturan jaga jarak dan penggunaan masker ketika berada di luar rumah. Terlebih lagi, beberapa pengusaha tidak lebih mengutamakan pendapat dibandingkan keselamatan para pekerjanya.
Untuk memenangi perang ini, kita perlu bekerjasama untuk saling menjaga orang-orang yang kita sayangi untuk terhindar dari virus ini. Selain itu, seyogyanya pemerintah perlu membuat aturan yang jelas bukan hanya untuk masyarakat, tetapi juga untuk seluruh jajaran internal pemerintah. Tanpa adanya keseriusan pemerintah dan pengabaian dari masyarakat ini akan sia-sia. Saat ini yang lebih genting adalah kesepahaman jika kita bisa melalui pandemi ini secara beriringan. [YSN]