Scroll untuk baca artikel
Blog

Sarapan Pagi untuk Indonesia

Redaksi
×

Sarapan Pagi untuk Indonesia

Sebarkan artikel ini

DI TEGAL, di kampung kakek saya Soegarbo, Kalibuntu, ada beberapa penjaja sarapan pagi. Menunya lengkap, dari bahan dasar nasi, ketan, bubur, kupat, alu-alu. Dan penjaja paling disegani karena mantap rasa masakannya adalah Yu Tar.

Masakannya mantap, penjajanya juga mantap parobaya bagai mempelam matang di pohon. Mangga dari jenis Golek pula, besar lonjong bulat. Buat satu orang nggak habis. Di belakang meja pendek jajaannya beliau bagai penguasa tunggal kuliner warisan kerajaan nenek moyang.

Tepatnya, judes muka femininisme, bersosok tinggi besar nyaris PSK (Perempuan Seratus Kilo). Jam 06.00 dia sudah siaga, melayani emak-emak dan anak-anak berseragam SLTP atau SLTA guna sarapan sebelum menuntut ilmu bagi bangsa dan negara.

Jadi, siapa bilang, beliau tidak berjasa bagi bangsa dan negara. Bagi para suami yang mau berangkat kerja. Dan para generasi sebagai kelanggengan proses re-generasi.

Pada era itu proses kelanggengan waktu berjalan naik sepeda. Seangkatan saya berjalan dalam arti sesungguhnya, jalan kaki ulang-alik. Irama waktu senada musik gamelan, mengalun dan melantun. Para guru pun mengajar bagai kayuhan sepeda, meski menyimpan kewibawaan serupa resi dalam gua pertapaan.

Pada era 1970-1980-an itu tidak pernah terjadi fenomana kebodohan sebagaimana kasus Sambo. Yang kalau dipertanyakan, bagaimana sekolahnya, hingga menjadi jendral tapi begitu bodoh melakukan tindakan tanpa kepala. Lalu apa sarapan paginya. Irama percepatan waktu berjalan seperti jet pribadi.

Bagi anak-anak muda kampung Kalibuntu yang kini kerap bereuni, tentu akan mengingat jasa Yu Tar. Dia sendiri yang memasak segala rupa menu sarapan di malam hari hingga dini hari, di saat orang-orang lelap tidur. Lalu menjajakan sarapan pagi, bahkan beberapa jam sesudahnya ia meladeni di warung sembakonya.

Saya jadi ingat satu motto: kuda tidurnya cuma dua menit, selebihnya hidupnya adalah larinya. Satu filsafat hidup yang lebih mendasari motto Presiden: kerja kerja kerja.

Rumahnya bahkan menjadi markas dari siang hingga malam. Bagi anak muda, dan bagi orang tua seangkatan suaminya yang seorang tehnisi kapal, Kang Siik.

Diam-diam Yu Tar juga seorang guru sejati yang rajin sholat dan ikut serta pengajian rutin. Hanya satu dua kata, dia mampu meluruskan persoalan. Terutama ihwal anak muda. Termasuk atas kenakalan saya yang mulai memasuki wilayah orangtua para orang kapal dengan julukan drunken master.

Saat itulah di dapurnya, beliau hanya berucap sambil sibuk memasak: kamu cucu Mbah Garbo. Ya, dengan begitu beliau mengembalikan kenakalan saya ke marwah keluarga terhormat. Mengembalikan saya dari dunia drunken ke dunia anak muda sewajarnya: sekolah dan belajar.

Besok paginya saat saya mengantri sarapan pagi, Yu Tar memberikan senyuman bagai ibu sejati, “sarapan apa, Ko.”
Dalam seragam SMA saya pun menyebut pesanan Mbah saya: ponggol, bubur sayur, ketan, alu-alu dan kesukaan saya..sega lodeh paron.

Kemudian tak lupa ucapan saya yang meluncur dari senyuman bunda piara akan dakunya: selamat pagi, Indonesia.***