BARISAN.CO – Hari ini, Selasa 26 Juli 2022 Chairil Anwar genap berusia satu abad atau seratus tahun. Chairil Anwar dilahirkan pada tanggal 26 Juli 1922 oleh HB Jassin dinobatkan sebagai pelopor angkatan ’45 dan bapak puisi modern Indonesia.
Penyair dengan julukan Si Binatang Jalang ini menurut catatan telah menelurkan karya sebanyak 94 dan 70 karyanya berupa puisi. Di kalangan dunia sastra nama Chairil Anwar mulai dikenal melalui puisinya yang berjudul Nisan yang dibuat pada tahun 1942, jadi waktu itu ia berusia 20 tahun.
Meski tidak banyak karyanya yang dipublikasikan namun jejaknya karyanya tetap terukir, puisi berjudul Cemara Menderai Sampai Jauh adalah puisi terakhirnya.
Puisi Chairil Anwar menjadi salah satu puisi yang dijadikan contoh mata pelajaran bahasa Indonesia. Puisi Chairil Anwar berjudul Doa.
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut nama-Mu
Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh
CayaMu panas suci
Tinggal kerlip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk
Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
Di pintu-Mu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling
Sedangkan karya si binatang jalang tersebut yang paling dikenal meluas yakni puisi berjudul Aku dan Karawang Bekasil, berikut isi puisinya:
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi,
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinsing yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan
arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi kami adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi ada yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan
kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi.
Seabad Chairil Anwar
Satu abad Chairil Anwar merupakan usia keemasan, ia telah memasukinya. Menurut budayawan Eko Tunas pada zamannya Chairil Anwar dicap sebagai penjahat sastra.
Dianggap penjahat karena era itu mengagungkan bahasa yang mengindah-indahkah, jadi penjahat sastra maksudnya sebagai perusak bahasa. Sebab menurut Eko Tunas Chairil muncul dengan puisi menggunakan bahasa keseharian.
Selain itu periode waktu itu era Sastra Melayu dengan bahasa serba terikat aturan, seperti pantun atau gurindam. Zaman kala kehidupan sastra pun, secara politik kolonial, sangat dipengaruhi penjajahan VOC Belanda.
Satu abadi Chairil Anwar, dewan penasehat Pondok Belimbing Wening ini juga menuliskan puisi. Berikut puisi karya Eko Tunas:
CHAIRIL BIN ATANG
Cerita buat: Joshua Igho
Deru kereta dan rumah-rumah meped rel
Dari mana mau ke mana, menara penyaksi angkutan rakyat 1945
Seorang pengamen dengan marakas: jangan pergi hari hujan, jangan pergi jadi urban…
Seorang sepi berjalan menyepi-nyepi
Di jalan setapak hingga gerbong-gerbong menggelap
Perjuangan hitam seorang anak malam
Chairil Anwar namanya
Di istana dalam waktu bersamaan, Soekarno berulang membaca syair
Kurang revolusioner, Roeslan, katanya, kita mesti cari penyair progresif
Ada, Paduka, tapi maaf dia binatang jalang: sudah binatang jalang dari kumpulan terbuang pulak…
Siapa peduli, cetus Paduka, mari kita temui sang pecinta malam
Kopi dan rokok kretek dalam sejarah bangsa, lalu dasar kebudayaan
Bukan pendakian ke awang-awang, tapi penggalian hingga ke dasar jiwa manusia
Siapa dia punya nama
Chairil namanya, bukan Sarinah
Sapa perempuan bergincu: boeng ayo boeng…
Bersama teriakan sang penyair: sekali berarti sudah itu mati..!
Sekali arti itu si binatang mengubah dua larik syair
Tanggap si boeng: Nah, ini baru progresif revolusioner..!
Sang jalang kembali masuk dalam ceruk malam: mampus kau dikoyak-koyak sepi
Ia telah memerdekakan bangsanya dengan puisi
Dengan bahasa sehari-hari, pun bahasa jalanan
Chairil namanya, bukan Sarinah
Sayang sayang…
Berkumandang lagu kebangsaan itu:
Bangunlah jiwanya
Bangunlah badannya…
Jangan pergi hari hujan
Jangan pergi jadi urban
Ahaakk..!
(Chairil namanya, mungkin Bin Atang Soeigho)
Semarang, 25 Juli 2022
Penanda satu abadi Chairil Anwar beragam acara muncul untuk memperingatinya, seperti di Kota Semarang ada kegaitan yang diselenggarakan oleh Surau Kami mengusung Malam Seabad Penyair Chairil Anwar.
Poster berjudul “Basa Basuki Membaca Chairil Anwar” diselenggarakan pada malam ini bersama Romo Aloysius Budi Purnomo, Sulis Bambang, Gunawan Permadi, Adhit Kalis, Lukni Maulana, dan lain sebagainya.
Sementara, di Kaliwungu Kab. Kendal ada kegiatan yang diselenggarakan Pelataran Sastra Kaliwungu dengan tajuk 100 Tahun Chairil Anwar dengan jugul “Doa Puisi Lalu Mati” diselenggarakan di Kopi Sufi Brangsong Kendal.
Di Jakarta ada agenda Puncak Satu Abad Chairil Anwar, acara dilaksanakan di Teater Besar Taman Ismail Marzuki.
Seratus tahun atau Satu Abad Chairil Anwar menjadi puncak namanya yang senantiasa memberikan sinar perkembangan sastra Indonesia dan abadi namanya.
Aku hidup dan berada dalam seluruhnya. Aku sendiri yang berhak atas kebenaran diriku. Dan kenikmatan yang terasa dalam berbuat sesuatu menandakan bahwa aku memang musti melakukannya
Chairil Anwar