Scroll untuk baca artikel
Blog

Saya dan Kompas: Sujiwo Tejo Nekat

Redaksi
×

Saya dan Kompas: Sujiwo Tejo Nekat

Sebarkan artikel ini

Saat itulah Bambang Sadono mendekati kami pula, tampak gelisah pula, “semua wartawan datang, hanya dari Kompas ndak kelihatan.” Begitu Bambang lengser Halim nyekikik berbisik di telinga saya, “itu si tas kresek wartawan Kompas paling keren, Budiarto Danujaya..!” Saya lihat Budiarto senyum-senyum saja. Besoknya, koran Kompas memuat tulisan sarasehan plus foto Budiarto yang begitu keren.


SAYA terus mengirim naskah dan terus patahati sama Kompas. Sampai kemudian terjadi banjir bandang di Semarang 1990, dan saya menulis artikel. Dari artikel jadi esai, dari esai..lho kok kayaknya mau jadi cerpen. Saya mengirim cerpen itu ke Kompas. Menunggu dengan harap-harap cemas. Lupa saat itu saya dapat uang cukup banyak dari mana.

Saya pun mengendap ke lapak Mbak Pendamprat. Mengintip lembar Seni terbaca: Banjir Kanal – Cerpen Eko Tunas. Merasa darah naik ke kepala, saya tidak tahu perasaan apa ini. Antara dendam dan sakit pernah didamprat, saya beli semua koran Kompas di Minggu cetar membahana. Kata si Mbak: Mase ki aneh, biasane ming ndemek-ndemek, saiki malah mborong kabeh…”

Cerpen kedua yang dimuat Kompas, Revolusi Para Tikus. Kedua cerpen itu ada di buku kumcer Tunas, CresindO Erwin Hascaryo. Di antara itu saya mengirim berita seni dan acap dimuat Kompas, saya pun merasa menjadi wartawan budaya Kompas. Sampai pada gilirannya, Kompas edisi Jawa Tengah terbit, saya kerap mengirim artikel budaya dan acap dimuat.

Di era itu ada kerja yang manis dikenang, saat kami kuliah di IKIP-N Semarang: saya, Herlino Soleman, S Prasetyo Utomo, Triyanto Triwikromo. Di antara kami berempat hanya S Prasetyo yang punya mesin ketik. Maka kami bertiga pun antri numpang ngetik di kos-kosan S Prasetyo. Pakai hompimpah segala. Dan saya rela-rela saja di bagian buncit, senang menunggu, sebab ibu kos manis cantik dan semanak ndemenaake.

Cerpen yang saya ketik di kamar kos S Prasetyo itulah yang dimuat di Kompas. Satu peristiwa yang membuat mereka bertiga panik setengah mati. Karena masih bermimpi di siang bolong, andai cerpen mereka dimuat di Kompas: asem tenan puisi Mas Eko dimuat di Kompas..!

Sedikit rerasan, saya lebih tua di antara mereka bertiga, dan mereka menganggap saya guru mereka — mulange kapan? Dan demikianlah tugas guru, mengawali dan memandu, lanjut biar diteruskan para murid.

Demikian saya tergerak menulis status ini, begitu mengalir bagai hanya dalam satu tarikan napas. Satu semangat atas tutup usia Pak Jacob Oetama: guru dan empu kasih kita semua.***