Scroll untuk baca artikel
Fokus

[FOKUS] Sebagaimana Generasi Sumpah Pemuda

Redaksi
×

[FOKUS] Sebagaimana Generasi Sumpah Pemuda

Sebarkan artikel ini

Saya mengandaikan adanya sistem pendidikan yang—pinjam istilah Yvonne—berubah secara radikal. Pendidikan yang benar-benar memberi prioritas pembelajaran kepada para peserta didik untuk mencintai eksplorasi, meliarkan daya pikir kritis, bebas berekspresi. Pendidikan yang sungguh menghargai kepribadian yang beragam warna. Oleh karenanya, pengajaran dengan sistem dril; menuntut sikap ketaatan yang lengkap dengan pakaian seragam, dan baris-berbaris; tabunya sikap bertanya dan mempertanyakan banyak hal, kiranya hanya tepat untuk masyarakat tertutup bin ekslusif alias homogen. Padahal, kita menghuni di negeri majemuk.

Dalam hal ini saya begitu tersugesti dengan sang romo yang bangga dengan “status sosial”-nya sebagai manusia biasa, manusia sehari-hari, bahwa entah ideal entah tidak, di kota besar atau di pelosok, anak-anak kita itu harus dibekali semangat dan teknis bertanya. “Siswa yang andal dan penuh dedikasi dambaan masa depan adalah yang jeli bertanya, bukan yang pintar menjawab pertanyaan-pertanyaan.” ungkapnya.

Namun, umumnya kita terkecoh, kita lebih bangga mengajak anak pintar menjawab pertanyaan. Alih-alih jawaban pertanyaan itu sudah tersaji dalam pilihan, multiple choice. Anak tidak terlatih untuk menemukan dan mencetuskan pertanyaan-pertanyaan. Sejak sekolah dasar hingga sekolah tinggi, begitu sang guru atau dosen selesai memapar materi pelajaran, begitu masuk sesi bertanya, mendadak hening. Tiada yang berani bersuara. Tiada yang gagah mengajukan pertanyaan, terlebih mendebat pendapat, hingga cerdas memprotes kenyataan.

Konon Socrates suka menantang kemapanan dengan berani mempertanyakan banyak hal, termasuk otoritas dewa dewi kota Athena. Begitu pula Galilei, Newton, Edison, dan Einstein adalah pribadi-pribadi yang tak nyaman dengan kemapanan. Mereka memberontak realitas dengan suka bertanya. Begitu pula tokoh-tokoh mulai dari Kartini, Soekarno, Hatta, Ismail Marzuki, Sjahrir merupakan para pencari masa depan. Yang gelisah dengan kelaziman, yang mahir merumuskan pertanyaan.

Lantas, mungkinkah sistem pendidikan kita—dengan seringnya berganti kurikulum, berganti menteri—akan berganti kebijakan yang mengantar anak-anak gemar bertanya? Entahlah! Hanya saja, ya, saya akan tetap berobsesi: pendidikan serba bertanya.

Anak-anak sekolah di zaman Hindia Belanda, diarahkan untuk mengumpulkan dan merumuskan pertanyaan-pertanyaan. Tentang apa saja. Setelah satu minggu, rumusan pertanyaan itu dibuka dan didiskusikan bersama. Dengan demikian, anak terbiasa serius menyimak perdebatan seru, terbiasa berdiskusi. Anak-anak pun belajar menghargai perbedaan pendapat, saling menenggang, menerima kelebihan serta kekurangan dalam mengartikulasikan gagasan lewat bertanya.

Tak pelak, para leluhur kita itu orang-orang hebat. Mandiri dalam pemikiran. Mereka mewarisi tradisi pemikiran Yunani. Mereka adalah segenap putra-putri siap menerobos rimba masa depan. Lalu, bilamana anak-anak kita menjadi manusia perantau, pemertanya dan perintis yang kreatif: sebagaimana generasi Sumpah Pemuda! Ungaran, 27 Oktober 2020