Scroll untuk baca artikel
Blog

[FOKUS] Sebagaimana Generasi Sumpah Pemuda

Redaksi
×

[FOKUS] Sebagaimana Generasi Sumpah Pemuda

Sebarkan artikel ini

Apa gerangan yang terjadi? Sistem pendidikan yang Belanda terapkan memang bagus, atau individu-individunya yang terlahir di zaman revolusi itu generasi unggul? Sementara generasi kini, generasi yang jelas-jelas kalah bagus kemampuan pikirnya?

Menurut almarhum cendekiawan yang pernah berumah di pinggir kali Code itu, fakta anak-anak kita—generasi pasca-eksplorasi Belanda—sedari dini penuh semangat mencari, penuh canda ria, berbuat nakal, dan bikin heboh lingkungan, tetapi begitu masuk SD sampai SMA pelan-pelan memudar jiwa eksplorasinya. Kreativitas mereka kosong dan daya pikir kritis meredup. Inilah bukti, betapa sistem pendidikan kita mesti banyak yang dibenahi, dan tak perlu sungkan untuk mengakui bahwa sistem pendidikan kolonial Belanda jauh lebih beradab. Sistem evaluasi, dan manajemen pembelajaran yang mencekik spontanitas dan kreativitas serta kegembiraan anak-anak tersumbat telah menjadi menu harian pengajaran sekolah kita, hari-hari ini, yang sudah saatnya dikubur.

Saya mengandaikan adanya sistem pendidikan yang—pinjam istilah Yvonne—berubah secara radikal. Pendidikan yang benar-benar memberi prioritas pembelajaran kepada para peserta didik untuk mencintai eksplorasi, meliarkan daya pikir kritis, bebas berekspresi. Pendidikan yang sungguh menghargai kepribadian yang beragam warna. Oleh karenanya, pengajaran dengan sistem dril; menuntut sikap ketaatan yang lengkap dengan pakaian seragam, dan baris-berbaris; tabunya sikap bertanya dan mempertanyakan banyak hal, kiranya hanya tepat untuk masyarakat tertutup bin ekslusif alias homogen. Padahal, kita menghuni di negeri majemuk.

Dalam hal ini saya begitu tersugesti dengan sang romo yang bangga dengan “status sosial”-nya sebagai manusia biasa, manusia sehari-hari, bahwa entah ideal entah tidak, di kota besar atau di pelosok, anak-anak kita itu harus dibekali semangat dan teknis bertanya. “Siswa yang andal dan penuh dedikasi dambaan masa depan adalah yang jeli bertanya, bukan yang pintar menjawab pertanyaan-pertanyaan.” ungkapnya.

Namun, umumnya kita terkecoh, kita lebih bangga mengajak anak pintar menjawab pertanyaan. Alih-alih jawaban pertanyaan itu sudah tersaji dalam pilihan, multiple choice. Anak tidak terlatih untuk menemukan dan mencetuskan pertanyaan-pertanyaan. Sejak sekolah dasar hingga sekolah tinggi, begitu sang guru atau dosen selesai memapar materi pelajaran, begitu masuk sesi bertanya, mendadak hening. Tiada yang berani bersuara. Tiada yang gagah mengajukan pertanyaan, terlebih mendebat pendapat, hingga cerdas memprotes kenyataan.