PERIHAL pendidikan. Banyak kepala, banyak cerita, dan bikin dada kian sesak. Betapa tidak! Begini, pada suatu malam di lobi tengah Hotel Galuh Anindita, Yogyakarta, saya hanya bisa menyimak percakapan sahabat-sahabat dari PHI (Perkumpulan Homeschooler Indonesia), seraya mengelus dada.
Sebelum obrolan di lobi, kami seharian bertukar pengalaman soal pendidikan informal di ruang pertemuan. Persis, di ruangan itu, kami, oleh fasilitator, diajak untuk mengerti betapa pendidikan di negeri ini sedemikian acakadut. Terutama di sistem hukum: belum ada juklak dan juknis untuk pendidikan informal.
Di ranah budaya, pendidikan tak lebih sebagai upaya agar peserta didik kelak bisa dimanfaatkan. Pendidikan adalah sebuah sistem pengajaran yang diarahkan memuluskan anak untuk bisa bekerja di industri bisnis, atau jadi asisten pegawai negeri, dan sebagainya, dan sebagainya.
Jadi pendidikan kita ini tidak jauh-jauh dari pragmatisme. Hanya sebatas terampil, dan sistematis dalam melaksanakan tugas. Maka, nantinya dapat menjadi pegawai yang taat, atau teknokrat yang beres kerjanya. Pendek kata, “jelas-jelas tak mengusung gagasan besar.” ungkap Maria, praktisi homeschooling dari Kabupaten Malang.
“Peserta didik tidak diajak untuk memikirkan sesuatu yang dalam. Karena memang sedari awal tidak dirancang sebagai pendidikan yang radikal.” sambung Yvonne, fasilitator diskusi.
Nah, kembali ke obrolan di ruang lobi. Saya mendapati kesimpulan bahwa pendidikan seyogianya bisa membimbing anak hidup selaras dalam kesatuan jagad kecil (mikrokosmos) dengan jagad besar (makrokosmos). Antara pribadi anak dengan kehidupan nyata. Dan ternyata “anak-anak sekolah kita itu tidak dibekali semangat dan teknis bertanya. Mereka hanya pintar menjawab.” singgung Noor Aini, anggota Tim Inti PHI.
Syahdan, di tengah riuh rendah perbincangan di ruang tunggu itu, tiba-tiba saya teringat YB Mangunwijaya, “anak-anak kita hanya dapat maju dan siap menerobos rimba masa depan, bila sejak dini disiapkan menjadi manusia perantau, eksplorer, pemertanya dan perintis yang kreatif. Sehingga dapat menyambung estafet sejarah kehidupan sebelumnya. Bukankah tidak cukup bagi kita kalau hanya sekadar menerima aset peninggalan para leluhur?”
Romo Mangun bercerita bahwa dulu, Belanda—memang telah bercokol dan memerah kita ratusan tahun, tetapi—sukses mengukir generasi-generasi tangguh plus cerdas. Sebut saja, Kartini yang cuma tamatan SD, sanggup menyusun kalimat dengan runtut dan nalar yang bernas.
Lebih-lebih era Tan Malaka, Soekarno, Hatta, Chairil Anwar, dan sekian deret pejuang-pejuang yang begitu terasa gema intelektual mereka. Meski hanya sampai jenjang SMA dan sedikit yang sarjana, sanggup mengantar Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan. Sutan Sjahrir yang tidak sampai lulus sarjana, sanggup menyorong Indonesia meraih pengakuan internasional dalam forum Sidang Dewan Keamanan PBB.
Apa gerangan yang terjadi? Sistem pendidikan yang Belanda terapkan memang bagus, atau individu-individunya yang terlahir di zaman revolusi itu generasi unggul? Sementara generasi kini, generasi yang jelas-jelas kalah bagus kemampuan pikirnya?
Menurut almarhum cendekiawan yang pernah berumah di pinggir kali Code itu, fakta anak-anak kita—generasi pasca-eksplorasi Belanda—sedari dini penuh semangat mencari, penuh canda ria, berbuat nakal, dan bikin heboh lingkungan, tetapi begitu masuk SD sampai SMA pelan-pelan memudar jiwa eksplorasinya. Kreativitas mereka kosong dan daya pikir kritis meredup. Inilah bukti, betapa sistem pendidikan kita mesti banyak yang dibenahi, dan tak perlu sungkan untuk mengakui bahwa sistem pendidikan kolonial Belanda jauh lebih beradab. Sistem evaluasi, dan manajemen pembelajaran yang mencekik spontanitas dan kreativitas serta kegembiraan anak-anak tersumbat telah menjadi menu harian pengajaran sekolah kita, hari-hari ini, yang sudah saatnya dikubur.
Saya mengandaikan adanya sistem pendidikan yang—pinjam istilah Yvonne—berubah secara radikal. Pendidikan yang benar-benar memberi prioritas pembelajaran kepada para peserta didik untuk mencintai eksplorasi, meliarkan daya pikir kritis, bebas berekspresi. Pendidikan yang sungguh menghargai kepribadian yang beragam warna. Oleh karenanya, pengajaran dengan sistem dril; menuntut sikap ketaatan yang lengkap dengan pakaian seragam, dan baris-berbaris; tabunya sikap bertanya dan mempertanyakan banyak hal, kiranya hanya tepat untuk masyarakat tertutup bin ekslusif alias homogen. Padahal, kita menghuni di negeri majemuk.
Dalam hal ini saya begitu tersugesti dengan sang romo yang bangga dengan “status sosial”-nya sebagai manusia biasa, manusia sehari-hari, bahwa entah ideal entah tidak, di kota besar atau di pelosok, anak-anak kita itu harus dibekali semangat dan teknis bertanya. “Siswa yang andal dan penuh dedikasi dambaan masa depan adalah yang jeli bertanya, bukan yang pintar menjawab pertanyaan-pertanyaan.” ungkapnya.
Namun, umumnya kita terkecoh, kita lebih bangga mengajak anak pintar menjawab pertanyaan. Alih-alih jawaban pertanyaan itu sudah tersaji dalam pilihan, multiple choice. Anak tidak terlatih untuk menemukan dan mencetuskan pertanyaan-pertanyaan. Sejak sekolah dasar hingga sekolah tinggi, begitu sang guru atau dosen selesai memapar materi pelajaran, begitu masuk sesi bertanya, mendadak hening. Tiada yang berani bersuara. Tiada yang gagah mengajukan pertanyaan, terlebih mendebat pendapat, hingga cerdas memprotes kenyataan.
Konon Socrates suka menantang kemapanan dengan berani mempertanyakan banyak hal, termasuk otoritas dewa dewi kota Athena. Begitu pula Galilei, Newton, Edison, dan Einstein adalah pribadi-pribadi yang tak nyaman dengan kemapanan. Mereka memberontak realitas dengan suka bertanya. Begitu pula tokoh-tokoh mulai dari Kartini, Soekarno, Hatta, Ismail Marzuki, Sjahrir merupakan para pencari masa depan. Yang gelisah dengan kelaziman, yang mahir merumuskan pertanyaan.
Lantas, mungkinkah sistem pendidikan kita—dengan seringnya berganti kurikulum, berganti menteri—akan berganti kebijakan yang mengantar anak-anak gemar bertanya? Entahlah! Hanya saja, ya, saya akan tetap berobsesi: pendidikan serba bertanya.
Anak-anak sekolah di zaman Hindia Belanda, diarahkan untuk mengumpulkan dan merumuskan pertanyaan-pertanyaan. Tentang apa saja. Setelah satu minggu, rumusan pertanyaan itu dibuka dan didiskusikan bersama. Dengan demikian, anak terbiasa serius menyimak perdebatan seru, terbiasa berdiskusi. Anak-anak pun belajar menghargai perbedaan pendapat, saling menenggang, menerima kelebihan serta kekurangan dalam mengartikulasikan gagasan lewat bertanya.
Tak pelak, para leluhur kita itu orang-orang hebat. Mandiri dalam pemikiran. Mereka mewarisi tradisi pemikiran Yunani. Mereka adalah segenap putra-putri siap menerobos rimba masa depan. Lalu, bilamana anak-anak kita menjadi manusia perantau, pemertanya dan perintis yang kreatif: sebagaimana generasi Sumpah Pemuda! Ungaran, 27 Oktober 2020
Diskusi tentang post ini