Konon Socrates suka menantang kemapanan dengan berani mempertanyakan banyak hal, termasuk otoritas dewa dewi kota Athena. Begitu pula Galilei, Newton, Edison, dan Einstein adalah pribadi-pribadi yang tak nyaman dengan kemapanan. Mereka memberontak realitas dengan suka bertanya. Begitu pula tokoh-tokoh mulai dari Kartini, Soekarno, Hatta, Ismail Marzuki, Sjahrir merupakan para pencari masa depan. Yang gelisah dengan kelaziman, yang mahir merumuskan pertanyaan.
Lantas, mungkinkah sistem pendidikan kita—dengan seringnya berganti kurikulum, berganti menteri—akan berganti kebijakan yang mengantar anak-anak gemar bertanya? Entahlah! Hanya saja, ya, saya akan tetap berobsesi: pendidikan serba bertanya.
Anak-anak sekolah di zaman Hindia Belanda, diarahkan untuk mengumpulkan dan merumuskan pertanyaan-pertanyaan. Tentang apa saja. Setelah satu minggu, rumusan pertanyaan itu dibuka dan didiskusikan bersama. Dengan demikian, anak terbiasa serius menyimak perdebatan seru, terbiasa berdiskusi. Anak-anak pun belajar menghargai perbedaan pendapat, saling menenggang, menerima kelebihan serta kekurangan dalam mengartikulasikan gagasan lewat bertanya.
Tak pelak, para leluhur kita itu orang-orang hebat. Mandiri dalam pemikiran. Mereka mewarisi tradisi pemikiran Yunani. Mereka adalah segenap putra-putri siap menerobos rimba masa depan. Lalu, bilamana anak-anak kita menjadi manusia perantau, pemertanya dan perintis yang kreatif: sebagaimana generasi Sumpah Pemuda! Ungaran, 27 Oktober 2020