HARI Minggu saya manfaatkan mengajak tiga anak dan istri untuk sekadar berjalan-jalan ke kawasan Taman Ismail Marzuki (TIM). Jalan kaki dari Stasiun Cikini hanya dapat ditempuh sekira 10 menit dengan jalan lambat sambil menikmati setiap jilatan es goyang coklat berbalur kacang yang dibeli di trotoar yang lebar.
Jalan Cikini Raya sudah berubah. Kini menjadi surga bagi pejalan kaki dan neraka bagi pengendara mobil. Jalan satu arah itu semakin sempit justru yang diperlebar trotoar di kedua sayapnya.
Cikini Raya juga sangat rapi. Tak ada lagi kabel jaringan telepon yang layaknya benang kusut di atas kepala. Kini ditimbun di dalam tanah.
Hotel, gedung, kantor perbankan, rumah makan dan sekolah pun berbenah menyesuaikan dengan kondisi jalan yang semakin rapi.
Capek sejenak tinggal duduk di bangku panjang yang banyak tersedia di sepanjang trotoar. Bisa juga sambil ngopi yang dijajakan pesepeda keliling. Kalau lapar untuk sekadar ganjal perut tinggal beli roti yang dijajakan pedagang keliling. Rotinya sangat enak dan renyah. Roti yang sangat terkenal dan legendaris di Kota Bogor, Tan Ek Tjoan.
Taman Ismail Marzuki yang menjadi tujuan saya sudah berubah total. Tidak ada lagi halaman luas di bagian depan yang sebelumnya tempat parkir mobil. Tempat parkir kini ada di bawah tanah dan juga di atas gedung yang beratap rumput. Lebih ramah lingkungan.
Kompleks TIM yang berubah total ini rupanya membuat gusar seniman dan budayawan Butet Kartaredjasa. Butet sampai menyebut Gubernur Anies Baswedan kurang adab.
Kegelisahan Butet mewakili generasi keemasan TIM. Generasi seniman Bohemian yang banyak nongkrong di kedai sebelum atau setelah menonton pertunjukan. Tempat seniman asli dan seniman amatir berkumpul berdebat dan membual.
Butet termasuk yang resah karena artefak lama sudah tandas. Kini di kompleks yang awalnya bekas taman binatang milik pelukis Raden Saleh tersebut bersalin rupa dan lebih modern.
Butet masih merindukan kedai-kedai yang kini lenyap dan berubah menjadi Gedung Panjang. Butet juga masih membayangkan ruang-ruang presentasi kesenian, gedung pameran maupun panggung pertunjukan, yang kini hilang tanpa ada bekasnya.
Butet menemukan kenyataan kini di Kompleks TIM tidak ada lagi Teater Arena, Teater Tertutup, Teater Terbuka, Studio Huriah Adam, Wisma Seni, Gedung Pameran, dan Graha Bakti Budaya.
Romantisme seorang Butet tidak salah karena TIM masa lalu adalah bagian sejarah pribadi dan juga kolektif. Soal gedung yang berubah drastis tentu tidak bisa menyalahkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang membangun kembali TIM dengan wajah baru. Perubahan gedung juga bagian dari efektifitas dan efisiensi sehingga bisa menampung segala aktifitas.
Bagi saya yang penting TIM tidak menghilangkan koleksinya dan dengan revitalisasi tersebut membuat orang dari mana pun semakin kreatif dan produktif. Jakarta yang mengglobal butuh gedung yang representatif dan memiliki kapasitas yang besar.
Toh Anies juga dalam membuat gedung tak sembarangan atau nir makna. Gedung Panjang Gedung misalnya ternyata merupakan bentuk penggambaran not balok lagu ciptaan Ismail Marzuki yang berjudul “Rayuan Pulau Kelapa” pada fasadnya.
Ketika masuk ke ruang pameran di Gedung Panjang saya masih bisa menikmati poster-poster pameran dan karya seni lukis seniman yang pernah mewarnai Indonesia pada zamannya. Seperti Hardi dan Abas Alibasyah.
Dari poster juga saya dapat membuktikan bahwa PT Pertamina (Persero) pada tahun 70-an pernah menjadi sponsor pameran seni lukis di Taman Ismail Marzuki.
Bukti ini dengan sendirinya membantah pernyataan Dirut Pertamina Nicke Widyawati yang beralibi bahwa perusahaan migas negara tersebut tidak mensponsori ajang Formula E karena tidak ada kaitannya dengan industri utama perusahaan. Maksudnya, Formula E kan mobil listrik, dia tidak pakai bensin atau pakai gas. Jadi ngak nyambung, kira-kira logikanya.