BARISAN.CO – Sejak 15 April 2020, pemerintah Kabupaten Bogor menerapkan sistem belajar daring. Belum ada tanda sekolah akan dibuka mengingat jumlah kasus infeksi Covid-19 masih terus naik hingga sekarang.
Semua orang tahu kegiatan belajar daring menyimpang segudang masalah. Problematika yang dihadapi oleh siswa menjadi dua kali lebih pelik. Ika, salah satu siswi asal Bogor, mengaku kesulitan memahami pelajaran yang disampaikan.
“Jadi kalau sekolah itu biasanya kan mendengarkan guru mengajar secara langsung. Kalau sekarang kan beda. Saya biasanya mengerti jika disampaikan secara langsung. Namun, jika seperti ini sulit. Saya mau tidak mau harus ekstra keras belajar sendiri,” kata remaja yang saat ini duduk di Sekolah Menengah Pertama tersebut.
Senada dengan Ika, siswa bernama Rudi juga menyampaikan bahwa daring seperti aktivitas yang sia-sia. Tidak adanya pengawasan dari pihak sekolah, menurut Rudi, adalah celah besar yang menyebabkan banyak siswa kurang memperhatikan tugas-tugas yang diberikan.
“Jadi, saya mengerjakan sendiri tugas-tugas yang diberikan oleh sekolah selama ini. Namun, bisa saja siswa lain dibantu oleh orang lain. Jadi ga fair aja sih bagi saya,” kata Rudi saat ditemui oleh tim Barisanco.
Cerita-cerita semacam itu sebetulnya telah muncul sejak awal dan terus berulang. Masalah lainnya ketika anak-anak dibiarkan bermain selama sekolah daring berlangsung. Anak-anak tersebut dibiarkan untuk bermain tanpa mengikuti pelajaran yang diberikan oleh sekolah. Padahal, pihak sekolah telah berusaha untuk memberikan pendidikan agar anak tak ketinggalan pelajaran. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Andika, siswa SD kelas 3 di Bogor.
“Ya, orangtuaku dua-duanya sibuk. Jadi, aku setiap hari cuma main. Tidur malam, bangun siang. Terus main,” kata Andika sambil tertawa.
Sikap Orangtua Menambah Masalah Siswa
Tidak dapat dipungkiri bahwa peran orangtua di rumah dapat membantu anak dalam kegiatan belajar daring saat ini. Namun, tak jarang sikap orangtua juga dapat menambah masalah yang dihadapi oleh siswa yang belajar daring.
Masalah yang pertama, cara mengajar orangtua ke anak akan berbeda dengan guru ke siswanya. Hal ini yang harus dihadapi oleh anak. Tak jarang, ada orangtua yang kesal kepada anak dan melayangkan pukulan karena anak kesulitan belajar.
Padahal dalam belajar-mengajar normal di sekolah, ketika ada guru yang memukul siswanya, orangtua akan marah bahkan terkadang melaporkan tindakan tersebut ke Dinas Pendidikan karena tidak terima perlakuan guru tersebut tehadap anak mereka.
Sedangkan hari ini, tak jarang orangtua dengan mudahnya melayangkan tangan ke tubuh anak mereka hanya karena anak kesulitan belajar. Mendidik bukan persoalan mudah bagi orangtua terutama bagi mereka yang minim kesabaran. Sehingga anak bukan hanya mendapatkan tekanan, tetapi juga kekerasan.
Seperti inilah seharusnya kesabaran tidak disertakan. Seorang wali murid dari salah satu sekolah di Bogor menyampaikan kekesalannya saat anaknya tidak dapat menemukan password tugas yang gurunya katakan terdapat di video pengajaran. Anaknya pun menangis karena khawatir akan dipukul oleh wali murid tersebut.
“Karena tak percaya, saya cek videonya ternyata memang ga ada. Ternyata password tersebut adanya di video Youtube. Selama ini saya download video yang di share, tidak melihat yang ada di Youtube,” papar wali murid tersebut yang tidak ingin disebutkan namanya.
Masalah yang kedua, kurangnya kesabaran membuat orangtua yang mengerjakan tugas dari sekolah. Bagaimanapun juga, tugas sekolah ialah tugas anak. Orangtua hanya mendampingi atau sesekali mengajari saat ada materi yang tidak dipahami. Sehingga anak dapat merasakan suasana belajar sesungguhnya walau lokasinya di dalam rumah.
“Saya kadang yang mengerjakan tugas anak dari sekolah karena ga sabar ngajarinnya. Lama,” ungkap salah satu orangtua yang memiliki dua anak yang duduk di bangku sekolah dasar tersebut.
Persoalan mengerjakan tugas anak adalah kesalahan. Orangtua harusnya memahami bahwa tugas anak adalah tugas anak. Jika tugas anak dikerjakan orangtua, maka ia sedang mengajarkan anaknya sendiri untuk berbohong.
Sesulit apapun masalah yang dihadapi, semestinya anak bisa mengatasinya. Sekalipun nilainya tidaklah tinggi, tetapi kejujuran seharusnya ditanamkan sejak dini.
Selain kedua masalah diatas, masih ada masalah lainnya. Belajar di sekolah diharapkan dapat memberikan kedekatan bagi orangtua dengan anak saat ini. Terutama anak mendapatkan pendidikan pertama dari rumah. Akan tetapi, belajar daring nyatanya menyebabkan masalah lain yang harus dihadapi oleh anak. Sehingga ketika anak masuk sekolah, peran orangtua tidak serta-merta menjadi terhenti setelah anak mendapatkan pendidikan dari guru-guru mereka.
Tegas bukan berarti keras. Membantu bukan berarti mengajari menipu. Hal inilah yang kini harus dihadapi oleh anak-anak di tanah air yang belum diketahui kapan waktu bagi mereka akan dapat kembali ke sekolah. Namun, seyogyanya sekalipun orangtua bukan berlatar belakang guru, mereka harus dapat memberikan contoh bagi anak mereka. Jangan sampai setelah pandemi ini berakhir, sekolah kembali dibuka, trauma tersisa di pikiran dan hati anak-anak.
Baik siswa maupun orangtua berharap bahwa pandemi akan segera berakhir sehingga sekolah akan kembali dibuka dan siswa dapat belajar secara tatap muka. []
Penulis: Anatasia Wahyudi
Diskusi tentang post ini