Seperti inilah seharusnya kesabaran tidak disertakan. Seorang wali murid dari salah satu sekolah di Bogor menyampaikan kekesalannya saat anaknya tidak dapat menemukan password tugas yang gurunya katakan terdapat di video pengajaran. Anaknya pun menangis karena khawatir akan dipukul oleh wali murid tersebut.
“Karena tak percaya, saya cek videonya ternyata memang ga ada. Ternyata password tersebut adanya di video Youtube. Selama ini saya download video yang di share, tidak melihat yang ada di Youtube,” papar wali murid tersebut yang tidak ingin disebutkan namanya.
Masalah yang kedua, kurangnya kesabaran membuat orangtua yang mengerjakan tugas dari sekolah. Bagaimanapun juga, tugas sekolah ialah tugas anak. Orangtua hanya mendampingi atau sesekali mengajari saat ada materi yang tidak dipahami. Sehingga anak dapat merasakan suasana belajar sesungguhnya walau lokasinya di dalam rumah.
“Saya kadang yang mengerjakan tugas anak dari sekolah karena ga sabar ngajarinnya. Lama,” ungkap salah satu orangtua yang memiliki dua anak yang duduk di bangku sekolah dasar tersebut.
Persoalan mengerjakan tugas anak adalah kesalahan. Orangtua harusnya memahami bahwa tugas anak adalah tugas anak. Jika tugas anak dikerjakan orangtua, maka ia sedang mengajarkan anaknya sendiri untuk berbohong.
Sesulit apapun masalah yang dihadapi, semestinya anak bisa mengatasinya. Sekalipun nilainya tidaklah tinggi, tetapi kejujuran seharusnya ditanamkan sejak dini.
Selain kedua masalah diatas, masih ada masalah lainnya. Belajar di sekolah diharapkan dapat memberikan kedekatan bagi orangtua dengan anak saat ini. Terutama anak mendapatkan pendidikan pertama dari rumah. Akan tetapi, belajar daring nyatanya menyebabkan masalah lain yang harus dihadapi oleh anak. Sehingga ketika anak masuk sekolah, peran orangtua tidak serta-merta menjadi terhenti setelah anak mendapatkan pendidikan dari guru-guru mereka.
Tegas bukan berarti keras. Membantu bukan berarti mengajari menipu. Hal inilah yang kini harus dihadapi oleh anak-anak di tanah air yang belum diketahui kapan waktu bagi mereka akan dapat kembali ke sekolah. Namun, seyogyanya sekalipun orangtua bukan berlatar belakang guru, mereka harus dapat memberikan contoh bagi anak mereka. Jangan sampai setelah pandemi ini berakhir, sekolah kembali dibuka, trauma tersisa di pikiran dan hati anak-anak.
Baik siswa maupun orangtua berharap bahwa pandemi akan segera berakhir sehingga sekolah akan kembali dibuka dan siswa dapat belajar secara tatap muka. []
Penulis: Anatasia Wahyudi