PANGGUNG politik memang asyik diobrolkan. Di sana kawan bisa menjadi lawan. Lawan jadi karib seiring. Kepercayaan sulit dibuktikan, pengkhianatan dan main suap-suapan justru biasa dan acap peroleh pujian. Baik dan buruk tidak lagi jadi ukuran. Salah-benar bukan tujuan.
Nah, Kuntowijoyo dalam buku Mengusir Matahari, menguliti wajah kehidupan politik orde Soeharto dengan moda ungkap fabel. Dengan fabel, Kuntowijoyo menghadirkan cerita-cerita yang dapat dinikmati oleh semua kalangan. Bahwa fabel bisa ditangkap semata dongeng, sebagai pelipur lara saja. Bahwa fabel juga bisa dipetik nilai hikmah di baliknya, sebagai penerang hidup.
Di pengantarnya, Kuntowijoyo jujur mengatakan bahwa tema umum dari bukunya adalah Mengusir Matahari. Kita mafhum bahwa matahari merupakan sumber sinar terterang yang kita terima. Ia hadir untuk menandai pergiliran siang dan malam. Namun, apa lacur jika sang matahari tetap diam di tempat, enggan bergiliran dengan rembulan. Niscaya sengatnya akan sangat menyiksa, dan bahkan meminta tumbal yang tak sedikit.
Matahari adalah gambaran sosok Soeharto. Betapa Soeharto, dengan kekuasaan tangan besinya, bertahta selama 32 tahun. Betapa ia keasyikan dan terlena di atas kursi empuk. Gajah Jadi Raja di Negeri Kambing, mengulik arogansi kekuasaan tersebut. Juga dalam cerita Kiai Sapu Jagat Marah, Kiai Sapu Jagat Kesepian, Pak Kunto lagi-lagi mengingatkan betapa keangkuhan kekuasaan politik, militer, ekonomi, sosial dan budaya itu riil.
Saking berkuasanya, sampai-sampai para cendekiawan saat itu berlaku sebagai Kancil Pilek saat berhadapan dengan sang baginda Soeharto. Mereka tidak berani omong apa adanya, sekaligus takut berbohong, maka pilihannya adalah berpura-pura sakit pilek. “Baginda melihat sendiri saya sedang pilek. Maka, hidung saya tak bisa mencium apa pun.”
Namun, kejumawaan sang penguasa itu tidak lantas menyurutkan perjuangan sekelompok kecil yang semula dianggap lemah. Sekelompok lemah yang justru sanggup menumbangkan kekuasaan tiran. Cerita Kucing/Harimau melukiskan pergerakan mahasiswa menggulingkan Soeharto. “Aneh, kucing-kucing itu mengeong tapi yang terdengar adalah auman keras.”
Ya, masih melekat jelas di benak bagaimana para mahasiswa dari pelbagai kampus menduduki gedung DPR/MPR tahun 1998. Mereka akhirnya bisa memaksa sang jenderal untuk “tidak patheken”, tidak jadi presiden lagi. Namun sayang, serasa kebablasan perjuangan mereka itu. Dalam Sajak-sajak Seekor Kucing, Kuntowijoyo memprihatini gerakan mahasiswa yang akhirnya menimbulkan huru-hara sosial, yang sampai hari ini tidak jelas jluntrung nasib korban Tragedi Mei ‘98. Sebuah tragedi politik yang tiada ujung, “Mesin terus menyanyi, tak tahu bagaimana dan kapan berhenti.”
Sehingga berasa ironi bagi masyarakat bawah, betapa akhir kekuasaan yang mesti ditandai oleh kekacauan. Toko-toko dirusak. Kaca-kaca dilempari batu. Rumah-rumah dibakar massa. Klab-klab malam ditutup paksa. Malam hari berubah seperti kuburan. Sehingga, rakyat rindu suasana massa mengambang, yang digambarkan dalam kisah Kebun Binatang. Bahwa monyet, kakatua, ular, harimau, kasuari, merak, menjangan, buaya, banteng, unta, dengan alasan masing-masing, semuanya merasa nyaman dan kerasan di dalam bon-bin. Mereka merasa tercukupi, walau tinggal bukan di habitat asli.
Pasca-Soeharto, orang-orang lantas berebut kuasa, merasa yang paling berhak. Setyaki Jadi Raja dan Federasi Kancil-Kancil serta Mas Kancil Gugat mengulik hal itu. Betapa tanpa risih mereka berlaku tiran sembari mengkritik kekuasaan yang sewenang-wenang.