Scroll untuk baca artikel
Opini

Kenapa Harus Perang Saudara dalam Penegakan Hukum?

Redaksi
×

Kenapa Harus Perang Saudara dalam Penegakan Hukum?

Sebarkan artikel ini
Oleh: Syaiful Rozak

Pada tahun 2004 lalu, Presiden SBY melakukan start awal perang melawan korupsi. Hingga saat ini, sudah sekitar 15 tahun lebih bangsa ini perang melawan korupsi. Tapi apa yang terjadi? Hampir dua dekade ini, penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi masih berjalan kurang memuaskan. Hal itu bisa dilihat dari banyaknya kasus korupsi, pemberian hukuman ringan, hingga kasus korupsi yang tak tersentuh oleh hukum.

Kita mungkin akan bertanya; bukankah sudah ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam hal ini KPK memang sudah bekerja dengan baik, akan tetapi tanpa didukung oleh sistem peradilan dan kultur hukum yang baik, pemberantasan korupsi akan mengalami kendala yang cukup serius.

Korupsi berkembang demikian canggih dan rapi. Dilakukan oleh mereka yang berpendidikan tinggi dan relatif mengerti hukum. Bahkan tidak jarang dilakukan secara kolektif (berjamaah). Untuk menghindari jeratan hukum, pelaku korupsi sudah menyiapkan perangkat hukumnya. Koruptor selalu mencari cara untuk mengamankan dirinya dengan memanfaatkan celah hukum dan prosedur. Pekerjaan memberantas korupsi menjadi suatu hal yang rumit dan menguras tenaga, karena yang dilawan tidak hanya penjahat, tetapi juga hukum itu sendiri.

Kesulitan dan kerumitan pemberantasan korupsi melalui hukum dimulai saat muncul semangat tinggi untuk memberantasnya, dan saat itu pula kaki dan tangan kita terikat oleh peraturan dan prosedur hukum, oleh sistem dan doktrin serta kultur tertentu. Keadaan menjadi lebih parah karena lubang atau peluang yang bagaimana pun kecil akan dimanfaatkan oleh “squad koruptor” untuk meloloskan diri dan itu sudah berkali-kali terjadi di negeri kita. (Satjipto Rahardjo, 2010: 133)

Perjuangan melawan korupsi tidak jarang dikalahkan oleh perjuangan di front fisik (bukti, dll) melainkan di front fikiran, yang di simbolkan dengan ilmu dan teori. Kekalahan terkadang tidak disebabkan oleh penggunaan asas, doktrin saja, tetapi lebih menyakitkan lagi, bahkan terkadang hanya oleh prosedur (Satjipto Rahardjo, 2009: 137)

Kita tidak ingin melihat hal tersebut terjadi lagi. Perjuangan melawan korupsi tidak boleh kalah oleh para koruptor. Hukum progresif melihat, bahwa perjuangan melawan korupsi membutuhkan kultur kolektif dari penegak hukum, dimana penegak hukum (polisi, jaksa, advokat, hakim) dalam bekerja itu memiliki tujuan yang sama, yaitu perang melawan korupsi.

Jaksa vs Advokat

Konon, arsitektur peradilan di Jepang itu dirancang bagaikan pasukan yang berangkat untuk berperang melawan kejahatan, yang barang tentu sangat berbeda dengan dengan arsitektur liberal. Sedangkan Indonesia itu mewarisi hukum Belanda civil law. Hukum modern memiliki watak liberal dan kultur liberal. Dan Indonesia mewarisi kultur itu. Kultur liberal itu ikut menentukan jalannya sistem peradilan kita.

Dalam kultur yang liberal itu, kita melihat proses pengadilan seperti melihat pertunjukan perang mencari kemenangan dari pada mencari keadilan. Kita menyaksikan seolah-olah jaksa itu perang melawan advokat. Kepentingan jaksa dan advokat saling bertentangan dan karenanya harus saling menegasikan satu sama lain.

Kepentingan jaksa umpamanya adalah menuntut hukuman bagi koruptor dengan seberat-beratnya, kepentingan advokat adalah membela klien nya agar dihukum dengan seringan-ringannya. Hukum itu bersifat netral, dari sifat kenetralan hukum itu tidak menjamin bahwa yang menang pasti benar dan yang kalah pasti salah. Alasan yang memberatkan dan meringankan hukuman sama-sama bisa dicari dalil hukumnya.

Melihat tidak efektifnya cara berhukum yang demikian, kenapa tidak mencari cara yang lain? Korupsi sudah dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime) ditambah dengan dilakukan secara kolektif (berjamaah). Menghadapi situasi yang sudah demikian parah, Satjipto Rahardjo menawarkan dengan apa yang disebut berhukum dengan luar biasa.