Scroll untuk baca artikel
Opini

Sengkarut Demokrasi Pasca-Reformasi

Redaksi
×

Sengkarut Demokrasi Pasca-Reformasi

Sebarkan artikel ini

REZIM Jokowi dinilai banyak melakukan blunder kebijakan. Ada beberapa kebijakan pada masa pemerintahan Jokowi yang sebetulnya mengandung kontroversi, misalnya, kebijakan revisi UU KPK dan pengesahan kebijakan UU Omnibus Law. Dua dari beberapa kebijakan yang disahkan pada masa Jokowi ini menurut sebagian orang lebih banyak mudarat daripada manfaatnya.

Hal ini tidak beralasan, sebab, dinamika aksi gerakkan penolakan terhadap kebijakan revisi UU KPK dan UU Omnibus Law membanjiri jalanan dan media sosial. Tentu tidak lain karena dua produk kebijakan ini sangat problematis, yakni tidak memberi kepastian bagi kepentingan masyarakat, alih-alih membentangkan karpet merah bagi oligarki.

Tuntutan reformasi dan gelombang demokratisasi pasca lengsernya Soeharto dari tampuk kekuasaan mendorong pembenahan pada birokrasi negara. Sebab pada masa Soeharto, birokrasi negara kerap kali dimanfaatkan oleh elite predator sebagai lahan subur korupsi, kolusi dan nepotisme.

Belakangan praktik seperti ini mulai tumbuh kembali dalam bentuk pungutan liar (Pungli). Sementara itu, kerja birokrasi negara semakin tidak melapangkan jalan bagi terwujudnya kepentingan warga, alih-alih kesepakatan di bawah meja yang melahirkan produk kebijakan pembangunan yang menggeser kepentingan warga.

Alhasil, dominasi dalam agenda pembangunan kebijakan publik semakin kentara bagi konsolidasi kekuatan elite korup ketimbang partisipasi warga. Persis disinilah kita menemukan problem itu,  bahwa, reformasi birokrasi negara, pelayanan jaminan sosial, tata kelola dan manajemen kebijakan publik dan anggaran belanja negara kerap dimanfaatkan sebagai sapi perah oleh kepentingan predator dan kroni-kroninya.

Sementara itu, ketimpangan ekonomi semakin meluas dan akses masyarakat miskin terhadap jaminan sosial kerap kali mengalami masalah dan dikapitalisasi. Bahkan lebih parahnya lagi, dinamika demokrasi, kebebasan berpendapat, berkumpul dan berserikat semakin dikuasai dan dikooptasi oleh kekuatan elite predator.

Sialnya, kekuatan masyarakat sipil dan lembaga pro-demokrasi tidak mampu menjadi aktor tandingan dalam menandingi kekuatan oligarki. Persis disinilah saya sepakat dengan Vedi Hadiz (2005), pasca reformasi konsolidasi demokrasi semakin membentuk kekuatan elite predator, sementara civil society semakin terpecah.

Sementara mengutip Dan Slater (2004) sebagaimana dikutip dari Ambardi (2009), demokrasi Indonesia menderita apa yang disebutnya sebagai jebakan pertanggungjawaban. Sebab partai politik sebagai pilar demokrasi gagal menjalankan fungsi check and balance.

Korupsi dan Pembusukan Demokrasi

Pasca lengsernya Soeharto dari kursi kekuasaan, agenda demokratisasi mulai tumbuh. Partai politik, LSM kritis, Pers dan juga organisasi pro demokrasi memantapkan eksistensinya. Disamping itu tidak kalah penting, penegakan nilai-nilai demokrasi, seperti kebebasan berkumpul, berpendapat dan berserikat memperoleh perlindungan hukum dari negara.

Namun apa yang tampak kemudian ialah, gelombang demokratisasi itu ternyata memberi celah bagi konsolidasi elite predator menjarah semua sumber daya kekuasaan negara. Parahnya, penegakan hukum yang kuat justru lemah di hadapan kekuatan predator korup. Sialnya, kekuatan dari bawah justru gagal mentransformasikan diri ke dalam satu aliansi melawan praktik yang koruptif dan klientelistik.

Alhasil, demokrasi di Indonesia lebih banyak melapangkan jalan bagi pembentukan kelas elite, ketimbang memperkuat jaringan masyarakat sipil yang kritis.

Sebaliknya, partai politik sebagai pilar demokrasi kerap kali disabotase oleh kepentingan politisi korup yang memanfaatkan parpol sebagai tiang penyanggah memperkuat dan mempertahankan dominasi dan praktik koruptifnya. Beberapa partai politik pasca reformasi, sebagaimana temuan Ambardi (2009) justru terjebak ke dalam permainan kartel yang semakin menjauhkan parpol dari konstituennya.