Scroll untuk baca artikel
Blog

Seni Pisang

Redaksi
×

Seni Pisang

Sebarkan artikel ini


PERNAHKAH Anda mendengar, sebuah pisang dibeli dengan harga fantastis. Dalam rupiah, pisang ‘ajaib’ itu seharga 1,7 Miliar. Bagi negara yang masih sibuk dengan korupsi dan konflik kebencian, tentu hal itu dianggap muskil, absurd, tidak mungkin terjadi. Tapi dalam dunia seni, sesuatu yang muskil pun ada. Sebagaimana drama absurd Samuel Beckett, “Waiting for Godot” (menunggu sesuatu yang tidak ada).

Galeri Art Basel Miami Beach, punya cerita tentang seni pisang. Seorang seniman instalasi, Marrizio Catellan, memasang 3 buah pisang dengan lakban, di dinding galeri milik Emmanuel Pervotin itu. Lalu, diberi judul: Comedian. Karya instalasi pisang dilakban itu dibeli oleh kolektor Prancis lengkap dengan sertifikatnya.

Pada hari berikut seorang seniman pertunjukan, David Natuna, datang dan terinspirasi instalasi pisang itu. Ia pun melakukan performen, mendekati 3 buah pisang itu dan memakannya. Anda tentu menganggap David telah merusak karya pisang itu, dan 1,7 M sirnalah. Oh tidak; dalam dunia seni ada etika atas estetika tersendiri.

Seorang kritikus mengatakan, seni pisang itu tidak rusak atau lenyap. Sebab pisang toh akan membusuk, dan bisa diganti setiap waktu. Bukan materi pisang yang penting, tapi ide pisang dilakban itulah yang utama. Dan toh ada sertifikat. Sekali lagi, idelah yang pokok sekaligus mahal!
Pisang dilakban “Comedian” baginya adalah simbol perdagangan global. Dan performencer David, telah membuat pertunjukan yang menegasi dunia global itu dengan sebutannya “Art Hungry”.

Seniman instalasi lain, Christo, bahkan dikenal sebagai seniman bungkus. Dia pernah membungkus dengan kain, gedung-gedung tinggi di Paris, juga coast line di pantai Miami.

Seni apakah seni instalasi itu. Itulah yang disebut seni Avant Garde dalam genre dadaisme. Bagi negara yang masih sibuk dengan antri sembako murah sangat jauh untuk menggapai seni masa depan itu. Walau kita juga punya seni yang luar biasa, wayang kulit. Di negeri ini wayang kulit masuk dalam seni tradisional. Tapi bagi publik Amerika menyebutnya sebagai seni kontemporer multi media paling absurd!

Bahkan, sejak Sunan Kalijaga hingga Enthus Susmono, pertunjukan wayang kulit dijadikan sebagai media dakwah agama Islam. Sunan Kalijaga dikenal dengan lakon “Jimat Kalimusadha” (kalimat Syahadat), pada Enthus dikenal pertunjukan Wayang Santri.

Tapi, ada orang yang berpikiran mau menghancurkan wayang kulit. Pertanyaannya, apakah dia manusia berbudaya dan beragama. Apakah dia manusia beradab.

Andai yang mesti dihancurkan wayang orang, bukankah yang dihancurkan mesti senimannya, manusia..?*** [Luk]