BARISAN.CO – Sebagai bentuk apresiasi jasa-jasa pada dunia perfilman, pemerintah akan menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Usmar Ismail, seorang sutradara film, sastrawan, wartawan, dan pejuang nasional.
Selain Usmar Ismail, Jokowi juga akan memberikan gelar pahlawan nasional kepada tiga tokoh lainnya, yakni Tombolotutu (pejuang asal Sulawesi Tengah), Sultan Aji Muhammad Idris (pejuang asal Kalimantan Tengah), dan Raden Aria Wangsakara (pejuang sekaligus pendiri wilayah Tangerang).
Usmar Ismail dikenal sebagai tokoh perfilman nasional dan seorang tokoh di DKI Jakarta. Meski dikenal sebagai tokoh DKI Jakarta, Usmar sebetulnya lahir di Bukittinggi pada 20 Maret 1921 dan meninggal di Jakarta, 2 Januari 1976. Nama lengkapnya, Haji Usmar Ismail Sutan Mangkuto Ameh.
Dia merupakan tamatan AMS AII (Barat Klasik, 1941) dan pernah belajar pada Jurusan Film Universitas California (1953).
Dikutip dari portal resmi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, jakarta.go.id, perjalanannya menjadi tokoh perfilman begitu panjang.
Mula-mula sebagai sastrawan yakni penulis cerita pendek dan sajak di zaman Jepang, kemudian menulis lakon dan skenario film.
Sajak-sajak Usmar diterbitkan dengan judul Puntung Berasap (1949), sedang dramanya dikumpulkan dengan judul Sedih dan Gembira (1950).
Tak puas dengan sandiwara Pusat Kebudayaan, di zaman Jepang bersama El. Hakim, Rosihan Anwar, Cornell Simanjuntak, H.B. Jassin, S. Sudjojono, dia mendirikan perkumpulan sandiwara amatir “Maya” yang banyak memainkan lakon karya Usmar dan El Hakim, disamping karya-karya terjemahan klasik dunia seperti karya Ibsen.
Setelah kemerdekaan, Usmar banting setir ke dunia wartawan. Ia terjun dalam persuratkabaran di Jakarta kemudian pindah ke Yogyakarta bersama pemerintah Republik Indonesia yang masih belia. Di Yogyakarta, Usmar sempat menjadi anggota TNI dengan pangkat mayor sampai tahun 1949.
Namun ia kemudian kembali ke dunia jurnalistik dengan memimpin harian Patriot dan majalah bulanan Arena. Selain itu, dia juga menjadi ketua Badan Permusyawaratan Kebudayaan Indonesia, Serikat Artis Sandiwara, dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Sebagai seorang wartawan kantor berita Antara dia datang ke Jakarta, namun ditangkap Belanda karena dituduh melakukan subversi pada tahun 1948.
Keluar dari penjara pada tahun 1949, Usmar diajak oleh Anjar Asmara menjadi asisten sutradara dalam pembuatan film ‘Gadis Desa’. Ini merupakan debut kariernya di dunia perfilman.
Di tahun yang sama, ia menjadi sutradara film “Harta Karun”, disusul kemudian film “Tjitra” yang merupakan naskah drama yang ditulisnya di zaman Jepang.
Namun, film-film tersebut tidak membuahkan kepuasan bagi dirinya sehingga ia mendirikan perusahaan sendiri Perfini pada 30 Maret 1950 bersama beberapa kawannya dengan menggunakan uang pesangon yang ia kantongi.
Usmar akhirnya melakukan syuting pertama “Darah dan Doa” atau kerap disebut “Long March Siliwangi” yang berlokasi di Purwakarta dan Subang. Film “Darah dan Doa” disebut-sebut sebagai kelahiran film nasional pertama Indonesia.
Dalam produksi film ini, Usmar menggaet pemain yang sama sekali tidak memiliki pengalaman di seni peran. Aktor seperti Del Yuzar, Awaluddin Djamin, Aedy Moward, Farida, bukanlah aktor profesional. Film tersebut merupakan film pertama tentang manusia Indonesia dalam revolusi.
Berkisah tentang karakter Kapten Sudarto dalam perjalanan panjang Divisi Siliwangi dari Yogyakarta kembali menuju daerah Jawa Barat pada 1948 atau setelah persetujuan Renville.
“Darah dan Doa” sempat menuai perdebatan, terutama dari perwira angkatan darat, karena film tersebut dianggap tidak menggambarkan keperwiraan dan melukiskan kelemahan seorang anggota tentara.