Scroll untuk baca artikel
Blog

Sepak Terjang Usmar Ismail: Sastrawan, Wartawan, Tentara, Hingga Tokoh Perfilman yang Akan Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional

Redaksi
×

Sepak Terjang Usmar Ismail: Sastrawan, Wartawan, Tentara, Hingga Tokoh Perfilman yang Akan Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional

Sebarkan artikel ini

Namun, film-film tersebut tidak membuahkan kepuasan bagi dirinya sehingga ia mendirikan perusahaan sendiri Perfini pada 30 Maret 1950 bersama beberapa kawannya dengan menggunakan uang pesangon yang ia kantongi.

Usmar akhirnya melakukan syuting pertama “Darah dan Doa” atau kerap disebut “Long March Siliwangi” yang berlokasi di Purwakarta dan Subang. Film “Darah dan Doa” disebut-sebut sebagai kelahiran film nasional pertama Indonesia.
Dalam produksi film ini, Usmar menggaet pemain yang sama sekali tidak memiliki pengalaman di seni peran. Aktor seperti Del Yuzar, Awaluddin Djamin, Aedy Moward, Farida, bukanlah aktor profesional. Film tersebut merupakan film pertama tentang manusia Indonesia dalam revolusi.

Berkisah tentang karakter Kapten Sudarto dalam perjalanan panjang Divisi Siliwangi dari Yogyakarta kembali menuju daerah Jawa Barat pada 1948 atau setelah persetujuan Renville.

“Darah dan Doa” sempat menuai perdebatan, terutama dari perwira angkatan darat, karena film tersebut dianggap tidak menggambarkan keperwiraan dan melukiskan kelemahan seorang anggota tentara.

Meski demikian, Usmar mengatakan bahwa tokoh Sudarto dalam “Darah dan Doa” bukanlah pahlawan dalam artian umum. Ia ingin menggambarkan seorang tentara yang terlibat dan terseret oleh arus revolusi dengan bingkai sisi manusiawi.

“Saya tertarik kepada kisah Sudarto karena menceritakan secara jujur kisah manusia Indonesia dengan tidak jatuh menjadi film propaganda yang murah,” tulis Usmar dalam karangan berjudul “Film Saya yang Pertama”, dikutip dari Rosihan Anwar dalam buku “Sejarah kecil ‘petite histoire’ Indonesia; Volume 2”.

Setelah “Darah dan Doa”, ia segera memulai produksi keduanya dengan masih mengangkat tema perjuangan zaman revolusi, yakni “Enam Djam di Djogja” (1951).

Pada 1952, ia memperoleh beasiswa dari Yayasan Rockefeller untuk belajar sinematografi di University of California Los Angeles.

Rosihan Anwar menyebut bahwa Usmar tampak lebih mahir dalam mengerjakan produksi-produksi film sekembalinya dari Amerika ketimbang karya pertamanya berkat pengetahuan sinematografi dan dramaturgi.

Pada tahun 1955, Usmar bersama Asrul Sani mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI). Kemudian bersama Djamaluddin Malik dan produser lainnya, mendirikan Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI).

Usmar juga bergabung dengan Partai Nahdlatul Ulama kemudian mendirikan Lesbumi. Usmar sempat menjadi anggota DPR-GR pada tahun 1966-1969.

Pada tahun 1962 ia memperoleh Piagam Wijayakusuma dari Presiden Soekarno. Tahun 1969 menerima Anugerah Seni dari Pemerintah Indonesia.