BARISAN.CO – Melihat berita televisi dengan kepala menunduk penuh khidmat, pada hari itu, Muhammad Chozin Amirullah segera mengesampingkan banyak rencananya dan berketetapan pergi ke Aceh. Gempa disusul tsunami dahsyat pada 26 Desember 2004 yang dilihatnya itu bahkan masih menyesakkan untuk diingatnya sekarang.
Menurut data yang dihimpun Bank Dunia, jumlah korban gempa dan tsunami itu mencapai 167.000 jiwa, baik yang meninggal maupun hilang. Tercatat pula sekitar 500.000 jiwa harus kehilangan tempat tinggal. Duka mendalam dirasakan tidak hanya oleh warga Aceh, tetapi juga seluruh Indonesia.
Chozin berangkat sekitar seminggu pascakejadian. Ia terbang dari Jakarta ke Medan, lalu melanjutkan perjalanan ke Banda Aceh lewat jalur darat. Di sana, ia dapati Serambi Mekkah begitu porak-poranda.
“Sesampainya di terminal Banda Aceh, masih banyak mayat-mayat berserakan di kanan-kiri jalan,” tutur Chozin saat mengenang masa-masa itu.
Pria asal Pekalongan tersebut menceritakan selama tinggal di sana, tidak satupun ia temui kehidupan yang mantap, mapan, dan pasti. Semuanya serba darurat. Listrik adalah mitos. Distribusi makanan belum lancar sehingga mie instan menjadi andalan mengisi kekosongan perut. Hanya ada tenda tipis yang, dari kejauhan, tampak mantap berdiri padahal sebenarnya pun tidak.
Chozin menjelaskan bahwa tugasnya di sana ialah mengangkat mayat untuk dikuburkan. Dalam menjalankan tugasnya tersebut, ia dan relawan lainnya mengenakan pakaian berpenutup lengkap, sepatu boot, jas hujan, sarung tangan, penutup kepala, dan masker agar terhindar dari tetanus saat mengangkat mayat dari lokasi-lokasi yang berair.
Tugas itu dilakukan secara berkelompok. Chozin menjelaskan setiap kelompok berisi 7 hingga 10 orang. Masing-masing dari kelompok itu, dengan peralatan seadanya, berpencar mencari mayat-mayat untuk diangkut ke dalam truk lalu diantar ke lokasi pemakaman massal.
“Satu hari kami rata-rata bisa mengangkut 100-130 mayat untuk dikubur dalam satu lubang,” katanya.
Di antara Takbir dan Tangis
“Meski sudah enam belas tahun berlalu, ingatan itu masih jelas di kepala.” Kata Chozin mengenang masa kelam 2004. Teriakan orang-orang meminta tolong, suara takbir, tangis histeris, dan korban-korban yang berjatuhan bahkan sering kali lebih nyata dari sekadar ingatan.
Namun hari ini, Kota Banda Aceh yang luluh-lantak akibat tsunami itu kini sudah berubah. Infrastruktur telah diperbaiki. Banyak lokasi yang sebelumnya rata dengan tanah, kini terlihat lebih elok. Jalan yang menghubungkan Banda Aceh ke Meulaboh yang kala itu putus, sudah kembali terhubung dan menjadi bagus.
Tsunami Aceh telah mengubah banyak hal begitupun keyakinan banyak orang. Kini, enam belas tahun berlalu, Chozin Amirullah semakin menebalkan keyakinan bahwa, betul, ada sisi dalam diri manusia yang ingin selalu terhubung dengan orang lain, berkorban, berbagi, dan ada pula kehendak untuk selalu terbebas dari jerat keegoisan diri sendiri.
“Saya percaya kita tidak perlu khawatir mendedikasikan diri untuk orang banyak. Tak perlu juga memikirkan apa yang akan didapat dan akan menjadi apa di masa depan karena rezeki, jodoh, dan maut telah dituliskan oleh Tuhan dan manusia sudah sepatutnya menolong sesama manusia terutama bagi mereka yang membutuhkan.”
Beberapa tahun pasca-tsunami, Chozin berkesempatan kembali mengunjungi Aceh. “Kali itu dalam rangka menjadi peneliti WWF (World Wide Fund for Nature) yang bekerjasama dengan Kementerian Kelautan.” Kata Chozin.
Ia melakukan penelitian sosio-ekonomi perikanan di pesisir kota Aceh. Adanya ikatan emosional yang masih sangat kuat, membuat Chozin sempat meneteskan air matanya melihat lokasi yang dulunya hancur, kini telah dibangun dan hijau.