Dalam lubuk hatinya yang paling dalam, perempuan itu sama sekali tidak mengharapkan kehadiran mereka. Pada saat suaminya menyongsong kedatangan mereka, ia berdiri di depan pintu, dengan gejolak di dadanya. Perempuan itu menganggap, kehadiran mereka telah mengganggu prosesi melepas rindu kepada suaminya. Namun, perempuan itu tidak ingin api cemburu kian terang di wajahnya yang kuning langsat, apalagi sampai diketahui Nini Ragarunting, orang yang telah berjasa besar padanya.
Perempuan itu terpaksa menyapa Sakawuni, lalu memeluknya penuh kehampaan. Suaminya menggendong Ayu Wandira. Perempuan itu beralih ke sisi kiri suaminya. Sakawuni masih bertahan di tempat, tangan kanannya memegang perutnya yang membuncit. Melihat apa yang dilakukan Sakawuni, perempuan itu menunduk lalu mengalihkan pandang ke anak kecil yang berada dalam penguasaan suaminya.
“Ayu, ini biyungmu,” kata suami perempuan itu. Kalimat yang diucapkan suaminya terasa lembut di telinga perempuan itu. Sakawuni tersenyum ke arah Ayu Wandira.
“Biyung Ayu seorang pendekar?” ucap Ayu Wandira dengan nada bicara mengundang kegemasan. Suami perempuan itu mengangguk-angguk.
“Benar, kamu mau melihat biyungmu terbang, Ayu?” sahut Nini Ragarunting yang sedang menurunkan barang bawaan, lalu terkekeh.
“Benar begitu?” tanya Ayu Wandira, pertanyaan itu ditujukan kepada perempuan itu. Tentu saja perempuan itu mengiyakan dengan manggut-manggut. Suami perempuan itu memindahkan Ayu Wandira dari gendongannya. Perempuan itu menerima Ayu Wandira dengan perasaan yang tidak bisa diwakilkan dengan kata-kata.
Perempuan itu memutuskan untuk tetap bertahan di kediamannya, ketimbang mengikuti rombongan suaminya yang kembali ke Majapahit. Perempuan itu tidak ingin kebahagiaan yang sedang menyelimutinya pudar gegara kehadiran Sakawuni. Walau Sakawuni sudah bilang dengan baik-baik padanya; ia tidak akan cemburu apabila perempuan itu ikut kembali ke Majapahit, perempuan itu tetap teguh pada pendiriannya.
Bertunas sisi buruknya dalam hati, ia ingin mengenyahkan Sakawuni dari sisi suaminya. Ia mengajak Sakawuni ke sebuah tempat, tanpa sepengetahuan siapa pun, dan berkata berterus terang kalau ia sangat tidak suka dengan kehadirannya di hidup suaminya. Kemudian ia bertarung habis-habisan melawan pendekar lengan seribu itu. Perempuan itu sadar, kalau Sakawuni bukan pendekar sembarangan. Namun ia punya keyakinan, kalau ia bisa mengalahkannya. Perempuan itu tidak mau melenyapkan Sakawuni dengan cara licik, sebagaimana Dwipangga—kakak suaminya—yang memperdaya dirinya dengan memberikan pelet, hingga kemudian menghasilkan Ayu Wandira.
“Oh, Dewata mengapa hidupku dipenuhi penderitaan? Sekalinya aku mendapat kebahagiaan, Kau selalu turunkan pula masalah di dalamnya. Mengapa Kau hadirkan Sakawuni di dalam hidupku?”
Perempuan itu pendekar berhati lembut. Ia suka menolong sesama, apalagi setelah ia memutuskan menjadi seorang tabib dan mengganti namanya menjadi Nyai Paricara. Hari-harinya ia isi dengan aktivitas yang berguna untuk orang lain, seakan tidak luput satu hari pun. Terkadang saking sibuknya, ia pernah ambruk pingsan di ruang kerjanya yang dipenuhi mangkok-mangkok dan bahan obat-obatan dari hutan.
“Tapi apakah aku mau mengingkari janjiku sendiri? Aku sudah berjanji tidak akan berurusan dengan dunia persilatan, kecuali dalam keadaan sangat mendesak.”
Sosok Sakawuni hadir di hadapannya. Ia melepaskan Ayu Wandira dari pelukannya. Ia ingin berdiri dan memukul wajah Sakawuni. Ada yang meletup-letup dari dalam dadanya. Kemudian wajah itu berubah menjadi Kamandanu. Ia tersenyum kepada perempuan itu dan seolah mengatakan, tidak pantas kau membenci Sakawuni. Perempuan itu mengibaskan wajahnya.