“Andai saja waktu itu kau tidak pergi, tentu hatimu tidak harus dibagi. Kuakui aku membohongi diriku sendiri, berpura-pura menerima keadaan di hadapanmu, dan seolah aku tidak membutuhkan kehadiranmu di depan Sakawuni,” kata perempuan itu dalam hati.
Sebelum lelaki itu kembali meninggalkannya setelah menyerahkan Ayu Wandira padanya, masih terngiang jelas bagaimana kereta kuda yang membawa Sakawuni, Nini Ragarunting, Panji Ketawang, dan Ayu Wandira memasuki halaman kediamannya. Suami perempuan itu datang lebih dulu dibandingkan mereka—tiba di pondokannya pada malam hari. Kedatangannya memastikan keadaan perempuan itu karena menurut laporan dari Ra Tanca—tabib istana Majapahit atau adik angkat perempuan itu—istrinya hendak dibunuh oleh orang-orang Majapahit akibat tak mau menerima penghargaan dari Prabu Kertarajasa Jayawardhana, sebab telah menyembuhkan Sang Baginda.
Dalam lubuk hatinya yang paling dalam, perempuan itu sama sekali tidak mengharapkan kehadiran mereka. Pada saat suaminya menyongsong kedatangan mereka, ia berdiri di depan pintu, dengan gejolak di dadanya. Perempuan itu menganggap, kehadiran mereka telah mengganggu prosesi melepas rindu kepada suaminya. Namun, perempuan itu tidak ingin api cemburu kian terang di wajahnya yang kuning langsat, apalagi sampai diketahui Nini Ragarunting, orang yang telah berjasa besar padanya.
Perempuan itu terpaksa menyapa Sakawuni, lalu memeluknya penuh kehampaan. Suaminya menggendong Ayu Wandira. Perempuan itu beralih ke sisi kiri suaminya. Sakawuni masih bertahan di tempat, tangan kanannya memegang perutnya yang membuncit. Melihat apa yang dilakukan Sakawuni, perempuan itu menunduk lalu mengalihkan pandang ke anak kecil yang berada dalam penguasaan suaminya.
“Ayu, ini biyungmu,” kata suami perempuan itu. Kalimat yang diucapkan suaminya terasa lembut di telinga perempuan itu. Sakawuni tersenyum ke arah Ayu Wandira.
“Biyung Ayu seorang pendekar?” ucap Ayu Wandira dengan nada bicara mengundang kegemasan. Suami perempuan itu mengangguk-angguk.
“Benar, kamu mau melihat biyungmu terbang, Ayu?” sahut Nini Ragarunting yang sedang menurunkan barang bawaan, lalu terkekeh.
“Benar begitu?” tanya Ayu Wandira, pertanyaan itu ditujukan kepada perempuan itu. Tentu saja perempuan itu mengiyakan dengan manggut-manggut. Suami perempuan itu memindahkan Ayu Wandira dari gendongannya. Perempuan itu menerima Ayu Wandira dengan perasaan yang tidak bisa diwakilkan dengan kata-kata.
Perempuan itu memutuskan untuk tetap bertahan di kediamannya, ketimbang mengikuti rombongan suaminya yang kembali ke Majapahit. Perempuan itu tidak ingin kebahagiaan yang sedang menyelimutinya pudar gegara kehadiran Sakawuni. Walau Sakawuni sudah bilang dengan baik-baik padanya; ia tidak akan cemburu apabila perempuan itu ikut kembali ke Majapahit, perempuan itu tetap teguh pada pendiriannya.