Scroll untuk baca artikel
Blog

Sepenggal Riwayat Mei Shin – Cerpen Risen Dhawuh Abdullah

Redaksi
×

Sepenggal Riwayat Mei Shin – Cerpen Risen Dhawuh Abdullah

Sebarkan artikel ini

Bertunas sisi buruknya dalam hati, ia ingin mengenyahkan Sakawuni dari sisi suaminya. Ia mengajak Sakawuni ke sebuah tempat, tanpa sepengetahuan siapa pun, dan berkata berterus terang kalau ia sangat tidak suka dengan kehadirannya di hidup suaminya. Kemudian ia bertarung habis-habisan melawan pendekar lengan seribu itu. Perempuan itu sadar, kalau Sakawuni bukan pendekar sembarangan. Namun ia punya keyakinan, kalau ia bisa mengalahkannya. Perempuan itu tidak mau melenyapkan Sakawuni dengan cara licik, sebagaimana Dwipangga—kakak suaminya—yang memperdaya dirinya dengan memberikan pelet, hingga kemudian menghasilkan Ayu Wandira.

“Oh, Dewata mengapa hidupku dipenuhi penderitaan? Sekalinya aku mendapat kebahagiaan, Kau selalu turunkan pula masalah di dalamnya. Mengapa Kau hadirkan Sakawuni di dalam hidupku?”

Perempuan itu pendekar berhati lembut. Ia suka menolong sesama, apalagi setelah ia memutuskan menjadi seorang tabib dan mengganti namanya menjadi Nyai Paricara. Hari-harinya ia isi dengan aktivitas yang berguna untuk orang lain, seakan tidak luput satu hari pun. Terkadang saking sibuknya, ia pernah ambruk pingsan di ruang kerjanya yang dipenuhi mangkok-mangkok dan bahan obat-obatan dari hutan.

“Tapi apakah aku mau mengingkari janjiku sendiri? Aku sudah berjanji tidak akan berurusan dengan dunia persilatan, kecuali dalam keadaan sangat mendesak.”

Sosok Sakawuni hadir di hadapannya. Ia melepaskan Ayu Wandira dari pelukannya. Ia ingin berdiri dan memukul wajah Sakawuni. Ada yang meletup-letup dari dalam dadanya. Kemudian wajah itu berubah menjadi Kamandanu. Ia tersenyum kepada perempuan itu dan seolah mengatakan, tidak pantas kau membenci Sakawuni. Perempuan itu mengibaskan wajahnya.

“Ada apa, Biyung?”

“Tidak apa-apa. Sudah sore, Ayu, sebaiknya kamu segera mandi. Nanti setelah itu kamu membantu ibu untuk membuat ramuan.”

Memang jika dipikir-pikir ada benarnya, setiap orang berhak mencintai seseorang, seperti dirinya yang mencintai suaminya. Perempuan itu tidak punya hak sama sekali menyalahkan Sakawuni. Perempuan itu juga tidak punya hak menyalahkan suaminya yang mengira dirinya telah tewas. Suaminya berhak memilih. Timbul penyesalan di hatinya, telah membayangkan hal-hal keji.

Seharusnya ia tidak menyalahkan siapa pun. Justru seharusnya ia berterima kasih pada Sakawuni, telah menjaga suaminya. Seharusnya ia berterima kasih kepada Dewata masih ada orang yang mau menikahinya, di tengah keadaannya yang kotor, dinodai oleh kakak suaminya sendiri.

Perempuan itu membayangkan, jika tidak ada suaminya. Aibnya tidak mungkin tersamarkan. Tidak ada orang yang sudi dekat dengannya. Mungkin ia tidak menjadi seorang tabib. Mungkin ia sudah mati ditiang gantungan bersama janin yang dikandungnya karena dianggap mata-mata oleh Kerajaan Kediri yang akhirnya runtuh itu—ia selamat berkat suaminya yang tidak lain Kamandanu. Ia kemudian menyesal. Benar-benar menyesal. Ia memanggil-manggil anaknya yang sudah tidak ada di sisinya. Ia ingin kembali memeluk Ayu Wandira.