Scroll untuk baca artikel
Khazanah

Serat Tripama dan Ajaran Tentang Cinta Tanah Air

Redaksi
×

Serat Tripama dan Ajaran Tentang Cinta Tanah Air

Sebarkan artikel ini

Kumbakarna setelah, mendengar perintah dari kakaknya, untuk melawan musuh yang menyerang negaranya, berangkat tanpa mendak karena memegang teguh sifat keksatriaannya, walaupun di dalam hatinya sesungguhnya tidak setuju akan perbuatan kakaknya yang salah, tetapi dia tetap berangkat ke medan perang dengan maksud untuk membela negara, keluhuran keluarga, leluhurnya dan bangsanya. Maka ia bersemboyan lebih baik mati dalam medan peperangan dari pada hidup mewah di Alengka tetapi (di rusak) prajurit kera.

Bait 5

Wonten malih kinarya palupi, Suryaputra narpati Ngawangga, lan Pandawa tur kadange len yayah tunggil ibu suwita mring Sri Kurupati, nagri Ngastina kinarya gul agul, manggala golonganing prang, Bratayuda ingadeken sepopati, ngalaga ing Kurawa.

Adalagi teladan yang pantas dicontoh, Suryaputra seorang Narpati dari Awangga, dengan Pandawa yang masih bersaudara, lain ayah tetapi sekandung (sama ibu), yang dengan setia mengabdi kepada Prabu Kurupati dari negeri Astina sebagai agul-agul (benteng), panglima perang, dalam perang Bratayuda menjadi senopati (perang) untuk membela Kurawa.

Bait 6

Den mungsuhken kadange pribadi, aprang tanding lan Sang Dananjaya, Sri Karna suka manahe, dene nggenira pikantuk, marga denya arsa males sihira Sang Duryudana, marmanta kalangkung, denya ngetok kasudirane, aprang rame Karna mati jinemparing, sembaga wiratama.

Sang Karna gembira mendengar perintah rajanya yang melawan saudaranya sendiri berperang dengan Sang Arjuna, karena inilah satusatunya jalan untuk dapat membayar budi, rajanya yang telah memberi derajad, pangkat, kenikmatan duniawi, maka berangkatlah dengan kekuatan yang ada kemedan pertempuran guna menunaikan tugas senapatinya dan akhirnya Adipati Karna gugur dalam medan pertempuran sebagai perwira utama”.

Bait 7

Katri mangka sudarsaneng jawi, pantes agung kang para prawira, amirata sakadare, ing lelabuhanipun, hawya kongsi buang palupi, manawa tibeng nista, ina estinipun senadyan tekading budya, tan prabeda budi panduming dumadi, marsudi ing Kautaman.

Ketiga contoh itu merupakan teladan di jawa, yang pantas jikalau semua para prajurit dapat menghayati sekuasanya, dalam pengabdiannya terhadap (kerajaan), jangan sampai melalaikan contoh-contoh baik, jika jatuh kelembah nista, hina, kemauannya; walaupun sentausanya budi tidak ada lain hendaknya berusaha sesuai dengan harkat hidupnya, berusaha dalam keutamaan.