Scroll untuk baca artikel
Blog

Setelah Prahara

Redaksi
×

Setelah Prahara

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Matahari terang hangat. Pagi pun sejuk angin melembut. Tapak kaki tegap tinggalkan bias-bias luka menganga di tahun penuh prahara. Orang-orang masih membersihkan bekas-bekas luka sayat di sanubari. Ada yang mengobati perasaan, berlubang kehilangan orang terkasih, mencoba menambal dengan doa dan harapan baru. Juga tegur sapa ikhlas sanak saudara dan tetangga.

Parang panjang masih tersandar di dinding kelabu. Itu bukan parang untuk membunuh. Tapi tuk mengusir anasir jahat nir bentuk yang mengambil nyawa makhluk Tuhan terkasih. Manusia itu, iya manusia, adalah makhluk Tuhan terkasih karena Dia diciptakan dengan sepenuh sempurna bentuk.

Dia bukanlah ciptaan sia-sia. Tapi makhluk tak kasat mata itu telah mendurhakai dengan seenaknya mengambil keindahan ciptaan-Nya di sembarang waktu. Seperi leviathan ganas, murka menerkam mencabik sejengkal demi sejengkal tawa canda.

Lalu kematian demi kematian pun menghentikan waktu dan ceria. Padahal semua tengah menantikan harum bunga padi terserak di pinggir rerumputan. Bak lagu harmoni menari-nari di pelupuk mata. Sayu menidurkan hasrat. Kemudian bunga bangkai, burung hitam dan bau maut mengitari jagat raya. Semua hanya bisa menepi, meminggirkan niat, menyembunyikan takdir buruk. Berharap semua bisa ditunda.

Anehnya tak berapa lama tiada sepukulan jagung ditanam, sang durhaka tiba tiba lenyap. Dan waktu kembali seperti berhenti berdetak. Kita hanya diam terpaku bagai tentara tegak di tengah jalan sepi, dicekam ketakutan.

Tapi ketakutan telah pergi. Tersisa hanya isak tangis dan jerit tertahan sana sini, menyesali yang terjadi. Malam pun tegak menjulang langit. Gelap menyelimuti nirwana.

Esoknya, bunyi sapu lidi kembali menyapu pagi. Mainan anak gemericik membuai kamar tidur bayi dan sepasang suami istri muda. Lonceng jam dinding bergemintang di pagi pukul enam lewat lima. Suara air masak di panci elektrik memekik tak tahu diri. Para ibu kembali sibuk memikirkan hendak masak apa pagi ini, dan apakah di pasar sudah ada yang berjualan.

Lalu tiba-tiba semua orang melepas masker. “Sang Angkara telah pergi!” teriak orang banyak. Kita sekarang hanya perlu menyiapkan tali gantungan yang banyak tuk menjerat leher mereka yang khianat, mereka yang menari-nari telanjang di atas mayat berserakan sambil mengisap sabu dan mariyuana nomor satu.

Kantungnya penuh sobekan uang merah bernoda darah di sana sini. Kepala suku menyerukan kesiapsiagaan seluruh kampung. Mencegat para begundal agar tak melarikan diri ke tanah seberang. Sementara para wanitanya biar kita pasung hingga mati kering.

Kehidupan baru diiringi mentari terus saja melaju. Kenapa mendadak tiada lagi ketakutan. Meski masih mengobati lara, tapi manusia banyak semakin liar seperti sediakala.

Paruh kedua menjelang penghujung tahun, sekelompok insan pecinta kehidupan malah menemukan sobekan-sobekan literasi kuno. Berisi racikan menu purba bagi pemeliharaan akal dan otak sehat. Lalu giat tak kenal waktu kembali mengikuti alur para Begawan dahulu kala dalam menuliskan bait bait puisi dan romansa bercinta. Juga, baris baris pengantar tidur serta lajur maut rayuan pangeran sepatu kaca.

Kemudian, bahan emas dicari. Bukan tempaan emas batangan tapi barisan panjang benang emas dari seluruh sudut negeri. “Kita hendak merajut kembali asa yang dahulu sirna dan punah. Ini saatnya menjelang tutup babad tanah berapi, kita naikkan ke puncak paling tinggi dari pengharapan semuanya. Kita tidak boleh berhenti”. Seru sang pemimpin.

Tiba-tiba benang beserta tinta emas ciptaan sang pujangga semburat menyembur dari tangan tangan sakti para pendekar literasi. Kuno dan menyengat. Tapi menyesakkan otak dan kalbu. Tiada terlawan.