“Islam datang ke dalam lubuk hati manusia bukan untuk merendahkan manusia lain. Apalagi untuk memutuskan tali persaudaraan. Ingatlah bahwa Kita lahir tak pernah meminta dilahirkan menjadi anak siapa, lahir di mana, mati di mana, berjodoh dengan siapa serta mati sebagai apa.”
“Hidup ini sebuah proses yang tak pernah berhenti. Setiap saat adalah perubahan. Boleh jadi saat ini kita menjadi muslim tetapi kita tak dapat menjamin apakah sedetik kemudian kita masih menjadi seorang muslim sejati,” ucap Praba seolah-olah tengah menasehati Ghofur.
Sementara itu Ghofur semakin tertunduk mendengar kalimat demi kalimat yang diucapkan Praba.
“Jangan salah mengartikan agama. Jangan merasa paling benar dan menganggap orang lain tidak benar. Dengan begitu Engkau akan memiliki rasa welas asih Ghofur,”
“Maafkan Hamba Gusti. Hamba khilaf,” ucap Ghofur tiba-tiba sembari bersujud di samping Praba. Suara isak tangisnya jelas sekali terdengar.
“Semua orang dapat khilaf. Tapi yang penting segera menyadarinya,” jawab Praba sambil mengelus kepala Ghofur yang bersujud di sampingnya. Sedetik kemudian terlihat Ghofur sudah memluk Paramita.
“Maafkan aku istriku,” ucap Ghofur tak dapat menahan tangisnya. Kini tangisnya semakin menjadi-jadi.
“Aku akan mendampingi Kakang Loka Syiwa hingga kematian memisahkan kita,” jawab Paramita di tengah tangis harunya.
“Islam datang ke tanah Jawa tidak untuk menjadi musuh. Ia datang sebagai saudara sekaligus menjadi sahabat bagi semua orang,” ujar Praba lembut.
“Pulanglah kalian ke Tinatar. Berikan kedua kerisku ini kepada Resi Wiyasa dan Brahmana Wilis sebagai tanda persahabatan. Sampaikan salam persahabatanku untuk keduanya,” ujar Praba kembali sembari menyerahkan kedua bilah kerisnya kepada Ghofur dan Paramita.
“Setelah kalian sampaikan kedua tanda persahabatanku itu, segeralah kembali ke Glagah Wangi. Aku menunggu kalian berdua. Glagah Wangi menunggu kiprahmu Loka Syiwa,” pesan Praba sambil berdiri meninggalkan keduanya.
Tak lama berselang, sepasang suami istri itu pun telah terlihat menghela kekang kudanya menuju ke Padepokan Tinatar di kaki gunung Semeru diikuti oleh tatapan bahagia Praba, lelaki keturunan Majapahit yang kini menjadi pengayom di tlatah Glagah Wangi.