Scroll untuk baca artikel
Blog

Sikap Anak Muda Terhadap Politik

Redaksi
×

Sikap Anak Muda Terhadap Politik

Sebarkan artikel ini

Gambaran itu nampak jelas seperti diekspose media massa, TV, media on line dan lain-lain. Sebagai gambaran fakta (data KPK, Juni 2022), KPK telah memulihkan kerugian keuangan negara yang timbul akibat tindak pidana korupsi atau asset recovery sebesar Rp313,7 miliar.

Total asset recovery ini terdiri dari Rp248,01 miliar yang merupakan pendapatan uang sitaan hasil korupsi, Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), dan uang pengganti yang telah diputuskan atau ditetapkan oleh pengadilan.

Lalu, Rp41,5 miliar berasal dari pendapatan denda dan penjualan hasil lelang korupsi dan TPPU, serta Rp24,2 miliar berasal dari penetapan status penggunaan dan hibah.

Capaian asset recovery ini meningkat 83,2% jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya.

Pada Semester I 2021, angka asset recovery KPK senilai Rp171,23 miliar. Ironisnya,  dari 542 Bupati/Walikota 25 dari 34 gubernur se Indonesia terlibat korupsi, dan dari 200 orang pejabata di seluruh tingkatan Indonesia terlibat korupsi (https://nasional.kompas.com/read/2022/09/21/01000051/data-kasus-korupsi-di-indonesia-tahun-20220).

Atas dasar realitas itulah, wajar jika kaum muda ini “geregetan”, sebal atau geram__bahkan dalam bahasa yang lebih vulgar “muak” melihat realitas itu. Yang jelas, keluhan kaum muda itu semestinya menjadi  peringatan bagi partai politik dan elit politik kita.

Bagaimana pun, posisi kaum muda yang sering disebut sebagai generasi milineal dengan rentang usia 17-37 tahun itu cukup menentukan. Data BPS (Badan Pusat Statistik) menyebut jumlah generasi milineal sekitar 84 juta orang. Oleh karena itu, wajar jika suara mereka harus didengar dan diperhatikan dan representasi mereka harus diperhitungkan.

Parameter Partisipasi

Sikap apatis kaum muda dalam politik sejatinya merugikan demokrasi. Dampak langsung dari minimya keterlibatan kaum muda dalam dunia politik menjadikan lemahnya kaderisasi bagi partai politik.

Jika fenomena ini dibiarkan begitu saja, maka akan terjadi lost generation. Gejala lost generation itu sudah terasa sekarang. Sangat minim kaum muda tampil di panggung politik. Kalau pun ada mereka tidak melalui proses kaderisasi, tetapi melalui jalur politik dinasti__yang juga masalah tersendiri dalam dunia politik Indonesia.

Dengan melalui jalur politik dinasti, kaum muda seperti kurang teruji karena mereka minim ideologi, tak memikirkan kepentingan rakyat (publik), dan tipisnya rasa kebangsaan. Kaum muda yang terlibat politik sekadar demi kepentingan pragmatisme.

Tujuan beraktivitas politik tak lebih hanya mengejar ambisi kekuasaan, prestise, dan pundi ekonomi (Sobirin,2022). Dari sini tidak mengherankan jika mereka akhirnya terjebak pada pusaran korupsi, dan akhirnya terjungkal di saat berkarir  politik.

Guna mencegah terjadinya lost generation, maka penting kiranya para politisi senior kembali kepada hati nurani. Generasi muda itu tetap memerlukan sosok keteladanan, maka di sini segala fatsoen politik perlu mengedepankan sikap dan idealisme yang berakhlak.

Sikap kenegarawanan seperti anti korupsi, mengedepankan kepentingan rakyat (negara), dan hadir (empati) pada tiap kesulitan masyarakat harus ditumbuhkan terus. Tentu itu semua adalah sikap genuine, bukan sekadar  pencitraan yang terbukti adalah sikap hipokrit. 

Sebagai rekomendasi, nampaknya perlu semacam sekolah politik yang mengajarkan semangat dan nilai-nilai keadaban politik, di samping pengetahuan mendasar sebagai seorang politisi seperti pemahaman fungsi dan tanggungjawab seorang anggota parlemen.