TETANGGA sebelah rumah saya adalah keluarga Katolik. Kami biasa mempercakapkan konsep teologis, hingga tata cara peribadatan keyakinan, tanpa ada sedikit pun pretensi untuk saling mempengaruhi.
Kami saling hormat. Kami tetap berdiri dalam keyakinan masing-masing, tanpa sikap saling memvonis. Dan, kebiasaan kami tersebut, baru saya ketahui kemudian, sebagai pluralisme.
Pluralisme mengandaikan pluralitas. Pluralisme merupakan sikap terhadap kenyataan yang plural, pengakuan akan keragaman. Pluralisme adalah cara pandang yang apresiatif menghadapi heterogenitas.
Bahwa kenyataan agama, status sosial, dan latar budaya di masyarakat kita itu beragam, tidak tunggal. Dan, pluralisme tidak sama dengan sikap menyamakan semua yang ada. Karena toh faktanya: tidak ada yang sama. Juga pluralisme tidak dalam ranah membedah benar tidaknya sesuatu, agama salah satunya.
Memang, ada titik kesamaan satu dengan yang lain, tapi banyak juga titik perbedaannya. Al-Quran mengakui persamaan dengan kitab-kitab suci sebelumnya.
Namun, juga menegaskan bahwa syariat Islam berbeda dengan syariat-syariat agama di luar Islam. Meski, ada juga hukum-hukum Islam yang mengadopsi dari Yahudi, misalnya hukum qishash, “Wahai, orang-orang yang telah meraih iman! Hukum balasan setimpal diwajibkan atas kalian dalam kasus pembunuhan: orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan perempuan dengan perempuan.
Dan, jika suatu (kesalahan) dari orang yang bersalah dimaafkan oleh saudaranya, [pemaafan] ini hendaklah ditaati dengan adil, dan pembayaran ganti rugi kepada sesamanya (yang memberi maaf) hendaklah dilakukan dengan cara yang baik.” (Al-Baqarah: 178).
Jadi, sekali lagi, sikap pluralis tidak hendak menyatakan bahwa semua agama adalah sama. Tidak. Karena bersikap pluralis di sini mensyaratkan pengakuan sepenuhnya bahwa agama yang di luar itu pun ada secara objektif terlepas dari pendapat subjektif tentang agama tersebut.
Agama-agama di luar Islam tidak memerlukan pembenaran teologis secara Islam untuk menjamin eksistensinya masing-masing. Ada atau tidaknya mereka, tidak tergantung pada keyakinan keislaman kita, pun sebaliknya.
Terlebih kalau kita tengok sejarah, Islam pun tumbuh dalam konteks masyarakat yang plural, baik secara sosial-ekonomi maupun agama (terutama agama Yahudi dan Nasrani), saat masih di Mekah maupun berkembang sebagai institusi berdaulat di Madinah.
Sang Nabi tidak memungkiri itu, tapi bahkan berlaku bijak dengan memberlakukan perbedaan itu sebagai basis kekuatan berdaulat, dengan melahirkan Piagam Madinah.
Nabi saw. mengambil posisi sebagai wasit, “Aku adalah pelindung di belakang mereka dari setiap permusuhan terhadap mereka (kaum Nasrani). Mereka adalah rakyatku dan anggota perlindunganku.”
Ada kisah menarik, dan baru saya peroleh dari buku Argumen Pluralisme Agama karya Abdul Moqsith Ghazali, bahwa Nabi Muhammad saat kemenangan atas Mekah dan hendak menghancurkan semua patung berhala di ka’bah, beliau menemukan gambar Bunda Maria dan Isa al-Masih.
Seraya menutupi gambar tersebut dengan jubah, sang Nabi memerintahkan agar dua tokoh itu tidak dihancurkan. Juga patung Maryam yang terletak di salah satu tiang Ka’bah dan patung Yesus Kristus yang dipenuhi hiasan dibiarkan berdiri tegak.
Hal itu menandakan betapa Sang Nabi menghormati dan mengerti betul riwayat dua tokoh itu. Betapa kenabian beliau pun terkait dengan kehadiran Isa al-Masih, sekira merujuk pada Ibrahim as.
Dari situ, jelaslah bahwa tak ada alasan buat kita untuk tidak terlibat upaya membumikan pluralisme. Karena, benar-benar Islam pun lahir dalam konteks pluralitas agama, terutama Yahudi dan Nasrani.