Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Sikap Terhadap Pluralitas

Redaksi
×

Sikap Terhadap Pluralitas

Sebarkan artikel ini

Kemudian ini, ayat yang kerap disitir kaum eksklusif untuk mensegregasi umat lain, Innad-dina ‘indallahil islam, “sesungguhnya agama di sisi Allah adalah al-Islam” (Ali Imran: 19). 

Muhammad Nawawi al-Jawi, atau lebih familiar sebagai Syekh Nawawi al-Bantani, ulama Indonesia bertaraf internasional, menjelaskan “Tidak ada agama yang diridai Allah selain al-Islam, yaitu tauhid dan berbaju syariat mulia yang dibawa oleh semua para Rasul Allah.”

Senada itu, Al-Qurthubi berpendapat, al-Islam dalam ayat 19 berarti keimanan dan ketaatan kepada Allah. Lantas, Al-Zamakhsyari mengartikan sebagai keadilan dan tauhid. Thabathaba’i juga, al-Islam diartikan mentauhidkan Allah.

Lebih jauh Muhammad Asad, dalam The Message of the Quran, menerjemahkannya menjadi “penyerahan diri kepada-Nya”. Pemahaman yang lebih inklusif, yang di publik Indonesia pernah dinyaringkan oleh Nurcholish Madjid.

Sehingga, jelas paling tidak ada lima penafsir besar yang senafas mengartikan kata “al-Islam” sebagai tauhid. Cuma sayang, dalam terjemahan Al-Quran yang dikeluarkan Kementerian Agama Indonesia, tetap diterjemahkan sebagai “Islam”, sebagai nama agama yang dibawa Nabi Muhammad, sehingga berpotensi mengucilkan agama selain Islam.

Juga ayat, Wa lan tarda ‘ankal yahudu wa lan-nasara hatta tattabi’a millatahum, “karena orang-orang Yahudi tidak akan pernah senang kepadamu, demikian pula orang-orang Nasrani, kecuali engkau mengikuti keyakinan mereka.” (Al-Baqarah: 120).

Lagi-lagi Syekh Nawawi al-Bantani menjelaskan bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani dalam ayat tersebut adalah Yahudi Madinah dan Nasrani Najran. Bukan Yahudi dan Nasrani secara umum, melainkan spesifik umat nonmuslim tempo Nabi Muhammad di Madinah yang memang acap kali memusuhi dakwah Nabi.

Kedua umat itu tidak rela atas kesuksesan Nabi Muhammad membawa Madinah ke puncak peradaban. Sehingga diksi yang dipilih Al-Quran pun “anka” bukan “ankum”, karena keberatan dan ketidakrelaan mereka khusus tertuju kepada pribadi Muhammad saw.

Seperti ungkap Kiai Moqsith Ghazali di bukunya, bahwa ternyata tidak semua umat dari kedua agama sebelum Islam itu menentang Muhammad dan kenabian beliau.

Tersebut dalam kisah perjalanan Nabi ke Thaif dan dikejar-kejar penduduk di sana, bertemulah beliau dengan seorang Kristen, Uddas. Sang Kristen itu menyelamatkan Nabi dengan memberi setangkai anggur untuk dimakan.

Dalam kisah lain, Utsman ibn Affan dan istrinya, Abu Hudzaifah ibn Utbah, Zubair ibn Awwam, Abdurrahman ibn Auf, dan Jakfar ibn Abi Thalib, hijrah ke Abisinia demi menghindari ancaman nyawa Kafir Quraisy. Di sana, mereka mendapat suaka dari Raja Abisinia, yang Kristen.

Begitulah, dan masih banyak berderet kisah yang menunjukkan hubungan harmonis antaragama, antariman pada zaman Nabi dan generasi sahabat. Alhasil, pluralisme merupakan sikap positif terhadap pluralitas, dan kita tidak bisa berpangku tangan membiarkan ketidakharmonisan hubungan antaragama terus menghias wajah republik.

Ungaran, 20/12/2020