Lagi-lagi Syekh Nawawi al-Bantani menjelaskan bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani dalam ayat tersebut adalah Yahudi Madinah dan Nasrani Najran. Bukan Yahudi dan Nasrani secara umum, melainkan spesifik umat nonmuslim tempo Nabi Muhammad di Madinah yang memang acap kali memusuhi dakwah Nabi.
Kedua umat itu tidak rela atas kesuksesan Nabi Muhammad membawa Madinah ke puncak peradaban. Sehingga diksi yang dipilih Al-Quran pun “anka” bukan “ankum”, karena keberatan dan ketidakrelaan mereka khusus tertuju kepada pribadi Muhammad saw.
Seperti ungkap Kiai Moqsith Ghazali di bukunya, bahwa ternyata tidak semua umat dari kedua agama sebelum Islam itu menentang Muhammad dan kenabian beliau.
Tersebut dalam kisah perjalanan Nabi ke Thaif dan dikejar-kejar penduduk di sana, bertemulah beliau dengan seorang Kristen, Uddas. Sang Kristen itu menyelamatkan Nabi dengan memberi setangkai anggur untuk dimakan.
Dalam kisah lain, Utsman ibn Affan dan istrinya, Abu Hudzaifah ibn Utbah, Zubair ibn Awwam, Abdurrahman ibn Auf, dan Jakfar ibn Abi Thalib, hijrah ke Abisinia demi menghindari ancaman nyawa Kafir Quraisy. Di sana, mereka mendapat suaka dari Raja Abisinia, yang Kristen.
Begitulah, dan masih banyak berderet kisah yang menunjukkan hubungan harmonis antaragama, antariman pada zaman Nabi dan generasi sahabat. Alhasil, pluralisme merupakan sikap positif terhadap pluralitas, dan kita tidak bisa berpangku tangan membiarkan ketidakharmonisan hubungan antaragama terus menghias wajah republik.
Ungaran, 20/12/2020


