BARISAN.CO – Sejarah berkembangnya musik di Indonesia tak lepas dari adanya pembajak dalam format pita kaset. Hal itu tentu sangat merugikan para pelaku industri musik yang telah mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk produksi suatu musik.
Industri musik Indonesia mulai berkembang di awal abad ke-20 dalam kemasan piringan hitam meski pada awalnya didominasi label rekaman dari luar negeri. Perekaman dalam format piringan hitam sendiri mulai digunakan di Indonesia di tahun 1957. Hal ini ditandai dengan berjayanya perusahaan rekaman dari Indonesia yang memproduksi piringan hitam adalah Lokananta di Surakarta dan Irama di ibu kota.
Namun kejayaan piringan hitam tak berlangsung lama. Sebagaimana dikutip dari Kumparan, menjelang akhir 1960-an, industri kaset mulai memasuki Indonesia. Era kaset ini membuka mata pencaharian baru; toko-toko elektronik menyediakan jasa berupa merekam lagu berdasarkan pesanan dan menarik perhatian masyarakat luas.
Era kaset memunculkan sebuah permasalahan baru di mana era pembajakan juga terjadi di Indonesia. Kaset-kaset gelap, dan oknum-oknum yang melakukan pembajakan liar menjamur di mana-mana, bahkan pada 1967 menjelang awal 1968 penjualan kaset gelap dilakukan di toko-toko elektronik yang menjual radio dan televisi.
Pada 1971 berbagai media cetak memberitakan betapa kaset bajakan mengancam industri PH di Indonesia. Bagaimana tidak, selain harganya murah, jumlah lagu yang bisa disimpan di kaset pun lebih banyak. Satu buah kaset bisa berisi 24 lagu dengan harga Rp600, sedangkan rekaman PH berisi 12 lagu dengan harga Rp1.200. Jelaslah mengapa kaset-kaset gelap begitu cepat menjamur di masyarakat.
Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (Asiri) lahir pada 1 Februari 1978, pada saat industri musik Indonesia setengah pingsan dilanda pembajakan dan kaset obral “seribu tiga” bahkan ada yang “seribu lima”. Pada tahun 1988, pemerintah mulai membentuk satuan-satuan tugas untuk memonitor peredaran kaset dan memberantas pembajakan.
Kaset lantas beralih ke piringan cakram digital di tahun 2000-an, kemudian berkembang bahkan dilengkapi video. Perjalanan sejarah yang begitu dinamis layaknya musik rock’n roll itu dicatat secara rinci oleh wartawan senior Theodore KS dalam bukunya Rock’n Roll Industri Musik Indonesia dari Analog ke Digital.
Persatuan Artis Penyanyi dan Pencipta Lagu, dan Penata Musik Indonesia (PAPPRI) yang berdiri pada 18 Juni 1986, dan kemudian membentuk unit pemungut royalti yang kemudian menjadi Yayasan Karya Cipta Indonesia. Juga muncul ajang kontes dan pemberian penghargaan yang diprakarsai perusahaan kaset. Misalnya Festival Lagu Populer Indonesia dan beberapa festival lain secara insidentil, BASF Awards, HDX Awards, Anugerah Musik Indonesia.
Semua hingar-bingar itu meredup seiring dengan datangnya revolusi digital yang menghasilkan produk-produk CD, yang lantas berkembang dengan memanfaatkan jaringan internet. Pembajakan makin memprihatinkan, penegakan hukum UU Hak Cipta (HaKI) masih jauh dari yang diharapkan.
Pry S, pendiri Ripstore Asia, platform digital untuk legal music sharing di Indonesia mempunyai pandangan menarik soal apa yang ia sebut sebagai budaya berbagi. “Bahwa kita senang ketika kesukaan kita menjadi kesukaan orang lain, hal yang kita nikmati juga dinikmati orang lain, apa yang kita buat disimak oleh orang lain,” katanya dikutip dari Tirto.
Dengan pendekatan ini, maka lahirlah etos guyub di mana berbagi pengetahuan, hobi, dan ilmu bisa dilakukan kepada siapapun. “Sharing culture di internet ini, entah kenapa cocok sekali dengan budaya Timur. Budaya sharing ini saya pikir akan cukup dominan menentukan nasib musik digital di Indonesia ke depannya,” jelas Pry.